Sunday, December 27, 2015

MAKALAH HAK TANGGUNGAN


HAK TANGGUNGAN


Berdasarkan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”), definisi atas Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan undang-undang ini.
Hak Pakai dapat diberikan kepada:
  • Warga Negara Indonesia;
  • Orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
  • Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
  • Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan Pemerintah Daerah;
  • Badan-badan keagamaan dan sosial;
  • Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia;
  • Perwakilan negara asing dan perwakilan Badan Internasional.
Pada dasarnya Hak Pakai dapat dialihkan. Dalam hal terdapat tanah yang merupakan tanah yang dikuasai oleh negara, maka Hak Pakai hanya dapat dialihkan kepada pihak lain dengan izin pejabat yang berwenang. Namun, apabila terdapat tanah yang merupakan tanah hak milik, maka pengalihan Hak Pakai kepada pihak lain hanya dimungkinkan apabila dinyatakan secara tegas dalam perjanjian. Jadi, apabila dalam suatu kejadian pemegang Hak Pakai kehilangan persyaratannya atas hak tersebut, maka pihak tersebut akan kehilangan haknya dan wajib mengalihkannya kepada pihak lain atau Hak Pakai tersebut dihapuskan.
Berdasarkan Permenag No. 9/1999, pengertian dari HPL yaitu hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya. Selanjutnya, berdasarkan Penjelasan Pasal 2 ayat (3) huruf f UU BPHTB, pengertian HPL dijelaskan lebih lengkap lagi yaitu hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya, antara lain berupa perencanaan peruntukandan penggunaan tanah, penggunaan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak ketiga.
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah (“UUHT”) mengatur definisi Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.[3]
OBJEK HAK TANGGUNGAN adalah :
Perolehan tanah dalam rangka penanaman modal oleh suatu perusahaan diatur secara khusus di dalam Keputusan Menteri Agraria / Kepala BPN Nomor 21 Tahun 1994 tentang Tata Cara Perolehan Tanah Bagi Perusahaan dalam Rangka Penanaman Modal (“Kepmenag No. 21/1994”)
  • Hak – hak atas tanah yaitu Hak Milik (HM),
Perolehan tanah dalam rangka penanaman modal berasal dari tanah Hak Milik (“HM”) dapat dilaksanakan sebagai berikut: Atas permohonan pemegang hak atau kuasanya HM atas tanah dapat diubah menjadi HGB. Permohonan perubahan hak tersebut diajukan kepada Kepala Kantor Pertanahan setempat dengan melampirkan formulir dan sertifikat HM yang bersangkutan, atau jika HM itu belum bersertifikat dengan menyertakan alat bukti untuk mendaftarkan konversi HM tersebut.
Untuk HM yang sudah bersertifikat dalam waktu 3 (tiga) hari setelah diterimanya permohonan, Kepala Kantor Pertanahan akan mengeluarkan surat perintah setor pungutan dan dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah diterimanya bukti penyetoran pungutan, perubahan status hak atas tanah tersebut dicatat pada buku tanah HM yang bersangkutan dan sertifikatnya maupun daftar umum lainnya, sedangkan untuk HGB tersebut dibuatkan buku tanah dan sertifikat baru.
Lebih lanjut, terhadap HM yang belum bersertifikat dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja setelah diterimanya permohonan, Kepala Kantor Pertanahan menyelesaikan inventarisasi mengenai tanah tersebut dan membuat pengumuman. Selanjutnya dalam waktu 3 (tiga) hari kerja setelah waktu pengumuman dan tidak ada keberatan, Kepala Kantor Pertanahan mengeluarkan perintah setor uang dan dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah menyerahkan bukti penyetoran, perubahan hak dilaksanakan dengan pembuatan buku tanah dan sertifikat HGB
  • Hak Guna Bangunan (HGB),
pemindahan HGB dilaksanakan dengan Akta PPAT dan dicatat dalam buku tanah dan sertifikat maupun daftar umum lainnya. Dalam hal ini, izin lokasi berlaku sebagai izin pemindahan hak dan dimana perlu berlaku pula sebagai izin pengeluaran dari objek landreform dan izin atau fatwa lain yang menurut ketentuan yang berlaku diperlukan dalam pemindahan HGB atas tanah negara
  • Hak Guna Usaha (HGU)
Hak Pengelolaan (selanjutnya disebut dengan “HPL”) diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan antara lain:
  1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (“UU BPHTB”)
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah. (“PP No.40/1996”)
  3. Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 tentang Pelaksanaan Konversi Hak enguasaan Atas tanah Negara dan Ketentuan-Ketentuan tentang Kebijaksanaan Selanjutnya. (“Permenag No.9/1965”)
  4. Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan (“Permenag No.9/1999”).
Obyek HPL
Obyek dari HPL adalah tanah untuk pertanian dan tanah bukan untuk pertanian.
Subyek HPL
Berdasarkan Pasal 67 Permenag No. 9/1999, HPL dapat diberikan kepada pihak-pihak sebagai berikut:
  1.     instansi pemerintah termasuk Pemerintah Daerah;
  2.     Badan Usaha Milik Negara;
  3.     Badan Usaha Milik Daerah;
  4.     PT. Persero;
  5.     Badan Otorita;
  6.      badan-badan hukum Pemerintah lainnya yang ditunjuk Pemerintah.
Terjadinya HPL
HPL dapat terjadi karena 2 (dua) hal, yaitu:
  1. Konversi hak penguasaan sebagaimana dimaksud dalam Permenag No.9/1965.
  2. Pemberian hak atas tanah berasal dari tanah negara yang diberikan melalui permohonan, sebagaimana diatur dalam Permenag No.9/1999
Kewenangan Subyek HPL
Lebih lanjut Pasal 6 Permenag No. 9/1965 menjelaskan HPL memberikan wewenang kepada pemegangnya untuk:
  1.    merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah tersebut;
  2.    menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan tugasnya;
  3.    menyerahkan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dengan hak pakai yang berjangka waktu 6 (enam) tahun;
  4.    menerima uang pemasukan/ganti rugi dan/atau uang wajib tahunan.
Tata Cara Permohonan dan Pemberian HPL
Pasal 70 Permenag No. 9/1999 lebih lanjut menjelaskan terkait tata cara permohonan HPL yaitu permohonan diajukan secara tertulis kepada Menteri melalui Kepala Kantor Pertanahan yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan. Keputusan pemberian atau penolakan pemberian HPL akan disampaikan kepada pemohon melalui surat tercatat atau dengan cara lain yang menjamin sampainya keputusan tersebut kepada yang berhak.Jangka Waktu HPL HPL tidak mempunyai jangka waktu kepemilikan sehingga jangka waktu HPL adalah tidak terbatas.
Pemberian Hak Atas Tanah di Atas Bagian Tanah HPL
Berdasarkan PPNo. 40/ 1996 menyatakan bahwa di atas tanah HPL dapat diberikan atau dibebankan dengan hak-hak atas tanah yaitu Hak Guna Bangunan (“HGB”) dan Hak Pakai (“HP”). HGB atas tanah HPL dan HP atas tanah HPL diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuk berdasarkan usul pemegang HPL kepada calon pemegang HPL.
  • Hak Pakai (HP)
Pemberian Hak Pakai
Hak Pakai diberikan melalui keputusan Menteri atau pejabat berwenang. Hak Pakai suatu tanah Hak Pengelolaan diberikan melalui keputusan menteri atau pejabat berwenang dengan usulan dari pemegang hak pengelolaan. Hal ini berlaku untuk tanah negara. Sedangkan untuk tanah Hak Milik, maka Hak Pakai diberikan melalui perjanjian kedua pihak.
Jangka Waktu Hak Pakai
Hak Pakai dapat diberikan maksimal 25 (dua puluh lima) tahun dan dapat diperpanjang selama maksimal 20 (dua puluh) tahun. Pembaharuan juga dapat diberikan setelah Hak Pakai dan perpanjangannya berakhir. Hak Pakai dari tanah negara dapat diperpanjang dan diperbaharui bila tanahnya masih dalam kondisi baik, pemegang hak memenuhi persyaratan menjadi subjek Hak Pakai. Hak Pakai sebuah tanah pengelolaaan dapat diperpanjang dan diperbaharui dengan adanya usul dari pemegang hak pengelolaan. Hak Pakai dari tanah hak milik hanya dapat diberikan untuk 25 (dua puluh lima) tahun dan tidak dapat diperpanjang.
Pengalihan dan Penghapusan Hak Pakai
Pengalihan Hak Pakai dari sebuah tanah negara hanya dapat dilakukan setelah keputusan menteri atau pejabat berwenang. Untuk sebuah tanah Hak Milik, maka Hak Pakai hanya dapat dialihkan bila hal tersebut diperjanjikan. Pengalihan hanya dapat terjadi karena jual beli, tukar menukar, penyertaan dalam modal, hibah, pewarisan.
  • Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun (HMASRS).
Hak Tanggungan hapus karena alasan-alasan sebagai berikut:
  1. hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan;
  2. dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan;
  3. pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri;
  4. hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.
Setelah Hak Tanggungan hapus, Kantor Pertanahan mencoret catatan Hak Tanggungan tersebut pada buku hak atas tanah dan sertipikatnya. Dengan hapusnya Hak Tanggungan, sertipikat Hak Tanggungan yang bersangkutan dicabut bersama-sama buku-tanah Hak Tanggungan serta dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Kantor Pertanahan.
Ciri dan Sifat Hak Tanggungan
Sebagai jaminan untuk suatu pemenuhan kewajiban debitur kepada Bank, Hak Tanggungan mempunyai ciri dan sifat khusus.
  1. Hak Tanggungan bersifat memberikan Hak Preference (droit de prefence) atau kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu dari pada kreditur lainnya.
  2. Hak tanggungan mengikuti tempat benda berada (droit de suite). Ini merupakan salah satu kekuatan lain hak tanggungan. Jadi walaupun tanah yang dibebani dengan Hak Tanggungan tersebut dialihkan kepada pihak atau orang lain (dalam hal ini misalnya dijual), Hak Tanggungan tersebut tetap melekat pada tanah tersebut, sepanjang belum dihapuskan dalam praktiknya sering juga disebut dengan istilah dilakukan “Roya” oleh pemegang hak tanggungan.
  3. Hak Tanggungan tidak dapat dibagi-bagi, kecuali telah diperjanjikan sebelumnya. Hak tanggungan yang melekat pada suatu jaminan berupa tanah dan bangunan, tidak dapat ditetapkan hanya melekat disebagian bidang tanah atau rumah tersebut. Namun dapat pula diperjanjikan bahwa Hak Tanggungan yang membebani beberapa bidang tanah, dapat dihapuskan secara sebagian-sebagian, sesuai dengan proporsi pelunasan fasilitas pembiayaan yang dilakukan oleh debitur.
  4. Hak Tanggungan dapat digunakan untuk menjamin utang yang sudah ada atau yang akan ada.
    Jika utang yang sudah ada, tentunya sudah jelas, tetapi untuk utang yang akan ada seperti apa? Yang dimaksud dengan utang yang akan ada adalah utang yang pada       saat dibuat dan ditandatangani Akta Pemberian Hak Tanggungan tersebut belum ditetapkan jumlah ataupun bentuknya. Dalam setiap APHT disebutkan bahwa debitur punya sejumlah utang tertentu, yang dituliskan’……..yang dibuktikan dengan akta perjanjian kredit tertanggal (hh-bb-tt), Nomor xxx, yang dibuat dihadapan xxxx, Notaris di xxx berikut perubahannya dan/atau penambahannya…..’Misalnya, pada saat akta tersebut dibuat jumlah utang debitur masih sebesar Rp 100.000.000,- (Seratus Juta Rupiah). Kemudian karena nilai Hak Tanggungan yang  dipasang masih cukup untuk penambahan Plafon Kredit, pada saat debitur memperoleh tambahan kredit sebesar Rp. 50.000.000,- (Lima Puluh Juta Rupiah) dia tidak dibebani dengan Hak Tanggungan baru. Hanya cukup menunjuk kepada jaminan yang sudah pernah diberikan oleh debitur dengan nilai utang yang dijaminnya bertambah menjadi Rp. 150.000.000,- (Seratus Lima Puluh Juta Rupiah).
  5. Hak Tanggungan memiliki kekuatan eksekutorial.
    Sertifikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekusi tanpa melalui putusan pengadilan melalui penjualan di muka umum. Namun demikian, hal yang menarik dalam praktiknya adalah pada saat pemilik jaminan melakukan penawaran atas upaya kreditur untuk melelang tanah dan bangunan yang dijaminkan, kreditur masih   tetap membutuhkan bantuan pengadilan untuk mengeksekusi jaminan yang sudah dibebani Hak Tanggungan.
  6. Hak Tanggungan memiliki sifat spesialitas dan publisitas.
    Sifat spesialitas dan publisitas yang menyebabkan timbulnya hak Preference kreditur. Dalam hal terjadi peristiwa kepailitan debitur, Hak Preference kreditur tersebut tidak     hilang dan menjadi separatis. Artinya, kreditur punya hak terpisah atas obyek yang dibebani Hak Tanggungan tersebut. Oleh karena itu kreditur berhak mendapatkan pelunasan utang terlebih dahulu dari hasil penjualan tanah atau bangunan sebagai   jaminan. Dengan adanya publisitas tersebut pihak ketiga (Siapa pun) bisa mengecek status tanah tersebut melalui kantor pertanahan setempat. Tujannya menghindari terjadinya suatu transaksi peralihan hak atas tanah dimaksud tanpa persetujuan dari kreditur selaku pemegang Hak Tanggungan.
Perbedaan objek Hak Tanggungan dan HIpotek :
Objek hak tanggungan adalah hak atas tanah dam neliputi benda yang melekat dengan tanah yang meliputi hak milik, HGU, HGB, hak pakai baik hak milik maupun hak atas Negara dan hak atas tanah berikut bangunan , tanaman, hasil karya  yang merupakan satu kesatuan dengan tanah
Sedangkan objek hipotik hak atas tanah, meliputi hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunansaja,  tetapi semenjak berlakunya UU No. 4 Tahun1996 tentang hak tanggungan . maka hak hipotik atas tanah tidak berlaku lagi

MAKALAH HIPOTIK

MAKALAH HIPOTIK


PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang
Hipotik itu sendiri artinya adalah suatu hak kebendaan atas suatu benda yang tak bergerak, bertujuan untuk mengambil pelunasan suatu hutang dari (pendapatan penjualan) benda itu. Dari paparan latar belakang masalah di atas tentang hipotik, penulis tertarik untuk menggali lebih dalam lagi mengenai hipotik ini dalam bab selanjutnya.
Satu kreditur yang mempunyai kedudukan istemewa adalah kreditur pemegang hipotik. Hipotik diatur dalam KUH Perdata buku II Bab XII pasal 1162 sampai dengan pasal 1232. Dengan berlakunya Undang-undang No 5 tahun 1960 tentang Peraturan dasar pokok agrarian (UUPA) yang dimulai berlaku sejak tanggal 24 September 1960 buku II KUH Perdata telah dicabut sepanjang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hipotik.
Di dalam pasal 1162 KUH Perdata Hipotik diartikan sebagai : Hipotik adalah suatu hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak, untuk mengambil penggantian dari padanya bagi pelunasan suatu perikatan.Pasal 1168 KUH Perdata menyatakan lebih lanjut sebagai berikut :
Hipotik tidak bisa diletakkan selain oleh siapa yang berkuasa memindah tagankan benda yang di bebani. Sedangkan pasal 1171 KUH Perdata mengatakan : Hipotik hanya dapat diberikan dengan suatu akta otentik, kecuali dengan hal-hal yang dengan tegas ditunjuk oleh Undang-Undang. Kemudian Pasal 1175 sebagai berikut : Hipotik hanya dapat diletakkan atas benda-benda yang sudah ada. Hiopotik atas benda-benda yang akan ada di kemudian hari adalh batal. Selanjutnya Pasal 1176 KUH Perdata dinyatakan sebagai berikut: Suatu Hipotik hanyallah sah, sekedar jumlah uang untuk mana ia telah diberikan, adalah tentu dan ditetapkan di dalam akta.



  1. Rumusan Masalah
  2. Apa pengertian hipotik?
  3. Apa saja objek dan subjek dalam hipotik?
  4. Bagaimana sifat-sifat hipotik?
  5. Bagaimana cara mengadakan hipotik?
  6. Apa saja asas-asas yang terkandung dalam hipiotik?
  7. Apa saja isi akte dari hipotik dan janji dalam hipotik?


PEMBAHASAN

  1. Pengertian Hipotik
Hypotheca berasal dari bahasa latin, dan hypotheek dari bahasa Belanda, yang mempunyai arti “Pembebanan”.Sedangkan Menurut Pasal 1162 B.W, hipotik adalah suatu hak kebendaan atas suatu benda yang tak bergerak, bertujuan untuk mengambil pelunasan suatu hutang dari (pendapatan penjualan) benda itu.Dalam buku Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan karangan Hartono Hadisoeprapto menjelaskan, bahwa hipotik adalah bentuk jaminan jaminan kredit yang timbul dari perjanjian, yaitu suatu bentuk jaminan yang adanya harus diperjanjikan terlebih dahulu.

  1. Objek Hipotik
Adapun benda-benda tidak bergerak milik debitur yang dapat dihipotikkan yaitu:
  1. Tanah beserta bangunan
Yang dimaksud dengan jaminan berupa tanah beserta bangunan ialah jaminan atas semua tanah yang berstatus hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan berikut seperti: Bangunan rumah, bangunan pabrik, bangunan gudang, bangunan hotel, bangunan losmen dan lain sebagainya.
  1. Kapal laut yang berukuran 20 misi kotor ke atas.
Dasar dari ketentuan bahwa kapal laut yang berukuran paling sedikit 20 m3 isi kotor ke atas dapat dihipotikkan ialah Pasal 314 ayat 1 dan Pasal 314 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
Di dalam Pasal 314 ayat 1 KUHD ditentukan bahwa:
“Kapal-kapal Indonesia yang ukurannya paling sedikit dua puluh meter kubik isi kotor dapat didaftarkan di suatu daftar kapal sesuai dengan peraturan-peraturan yang akan diberikan dengan ordonasi tersendiri.”
Pasal 314 ayat 3 KUHD mengatakan bahwa:
“Atas kapal-kapal yang terdaftar dalam daftar kapal, kappa-kapal yang sedang dibuat dan bagian-bagian dalam kapal-kapal yang demikian itu, dapat diadakan hipotik.”


  1. Subyek Hipotik:
  • Sesuai dengan pasal 1168 KUH perdata, di sana dijelaskan bahwa tidak ada ketentuan mengenai siapa yang dapat memberikan hipotik dan siapa yang dapat menerima atau mempunyai hak hipotik.
Sedangkan badan hukum menurut tata hukum tanah sekarang tidak berhak memiliki hak milik, kecuali badan-badan hukum tertentu yang telah ditunjuk oleh pemerintah, seperti yang tertuang dalam pasal 21 ayat 2 UUPA. Ada empat golongan badan hukum yang berhak mempunyai tanah berdasarkan PP no. 38 tahun 1963 yaitu:
–        Badan-badan pemerintah
–        Perkumpulan-perkumpulan koperasi pertanian
–        Badan-badan social yang ditunjuk oleh menteri dalam negeri
–        Badan-badan keagamaan yang ditunjuk oleh menteri dalam negeri.



  1. Sifat-Sifat Hipotik
  2. Hipotik merupakan perjanjian yang accessoir, artinya bahwa perjanjian hipotik itu merupakan perjanjian tambahan terhadap perjanjian pokoknya yaitu perjanjian pinjam mengganti (kredit), sehingga perjanjian hipotik itu tidak dapat berdiri sendiri tanpa adanya perjanjian pokok tersebut.
  3. Hipotik ini tidak dapat dibagi-bagi, artinya bahwa hipotik itu akan selalu melekat sebagai jaminan sampai hutang yang bersangkutan seluruhnya dilunasi oleh debitur.
  4. Hipotik bersifat zaaksgevolg (droit de suitei), artinya bahwa hak hipotik akan selalu melekat pada benda yang dijaminkan dimanapun atau pada siapapun benda tersebut berada.
  5. Hipotik mempunyai sifat lebih didahulukan pemenuhannya dari piutang lainnya.
  6. Cara Mengadakan Hipotik
  7. Menurut ketentuan pasal 1171 KUH Perdata, hipotik hanya dapat diberikan dengan suatu akta otentik, kecuali dalam hal-hal yang dengan tegas ditunjuk oleh undan
  8. undang-undang Dari ketentuan Pasal 1171 KUH Perdata tersebut berarti kalau seseorang akan memasang hipotik, maka perjanjian pemasangan hipotik harus dibuat dalam bentuk akta resmi. Seperti dalam hal hipotik atas tanah maka perjanjian pemasangan atau pembebanannya harus dibuat oleh Pejabat Pembuat Akte Tanah (PPAT) setempat.
Sedang yang dapat menjadi PPAT ialah:
–          Notaris yang telah ditunjuk oleh Menteri Dalam Negeri menjadi PPAT.
–          Mereka yang bukan notaries, tetapi yang telah ditunjuk oleh Menteri Dalam Negeri menjadi PPAT.
–          Camat yang secara ex officio menjadi PPAT.
Contoh lain ialah hal hipotik atas kapal, maka yang berwenang membuat akte pemasangan hipotik iala Pejabat Pendaftaran dan Pencatatan Balik Nama di tempat kapal yang bersangkutan didaftarkan.
  1. Akte hipotik itu harus didaftarkan di Kamtor Pendaftaran Tanah setempat dan di Kantor Pendaftaran Kapal.


  1. Asas-Asas Hipotik
Dalam buku Hukum Perdata: Hak Jaminan Atas Tanah karangan Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, menjelaskan mengenai asas-asas hukum yang penting dibuat dalam hipotik ialah:
  1. Asas Publiciteit, asas yang mengharuskan bahwa hipotik itu harus didaftarkan di dalam register umum, supaya dapat diketahui oleh pihak ketiga/ umum. Mendaftarkannya ialah ke Seksi Pendaftaran Tanah. Yang didaftarkan ialah akte dari Hipotik itu.
  2. Asas Specialiteit, yaitu asas yang menghendaki bahwa hipotik hanya dapat diadakan atas benda-benda yang ditunjuk secara khusus. Benda-benda tak bergerak yang mana terikat sebagai tanggungan.
Misalnya: Benda-benda yang dihipotikkan itu berwujud apa, di mana letaknya, berapa luasnya/besarnya, perbatasannya.
  1. Asas tak dapat dibagi-bagi (Ondeelbaarheid), ini berarti bahwa hipotik itu membebani seluruh objek/benda yang dihipotikkan dalam keseluruhannya atas setiap benda dan atas setiap bagian dari benda-benda bergerak. Dengan dibayarnya sebagian dari hutang tidak mengurangi/meniadakan sebagai dari benda yang menjadi tanggungan.

  1. Isi Akte Hipotik
Isi daripada akte hipotik itu pada umumnya dibagi menjadi 2 bagian:
  1. Isi yang bersifat wajib, yaitu berisi hal-hal yang wajib dimuat, misalnya tanah itu harus disebutkan tentang letak tanah yang bersangkutan, luasnya jenis dari tanah tersebut (sawah, tegalan, pekarangan dan sebagainya), status tanah, subur atau tidaknya,  daerah banjir atau bukan dan sebagainya. Kalau misalnya mengenai bangunan, maka harus disebutkan tentang letak bangunan, ukuran bangunan, model/jenis bangunan, konstruksi bangunan serta keadaan/kondisi bangunan (Pasal 1174 KUH Perdata).
  2. Isi yang bersifat fakultatif, yaitu tentang hal-hal yangboleh dimuat atau tidak dimuat di dalam akte tersebut. Dan ini biasanya berupa janji-janji/bendingan antara pemegang dan pemberi hipotik, seperti janji untuk menjual benda atas kekuasaan sendiri, janji tentang sewa, janji tentang asuransi dan sebagainya. Namun meskipun janji-janji/bendingan tersebut merupakan isi akte hipotik yang bersifat fakultatif, pada umunya selalu dicantumkan pada akte hipotik tersebt. Hal ini dilakukan dengan maksud agar bila dikemudian hari timbul hal-hal yang tidak diharapkan sudah jelas pembuktiannya.



I . Janji – Janji (Bedingen) dalam Hipotik
Di dalam perjanjian Hipotik lazim diadakan janji-janji yang bermaksud melindungi kepentingan Creditur supaya tidak dirugikan. Janji-janji demikian harus tegas-tegas dicantumkan dalam akte Hipotik, yaitu:
  1. Janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri, pasal 1178 KUH Perdata.
  2. Janji tentang sewa, pasal 1185 KUH Perdata.
  3. Janji untuk tidak dibersihkan, pasal 1210 KUH Perdata.
  4. Janji tentang Asuransi, pasal 297 KUHD.
Namun demikian para pihak tidak boleh mengadakan janji untuk memiliki bendanya manakala debitur wanprestasi yaitu disebut vervalbeding. Beding demikian adalah dilarang (pasal 1178 ayat 1 KUH Perdata). Larangan adanya janji yang demikian itu adalah untuk melindungi debitur agar dalam kedudukannya yang lemah itu karena membutuhkan kredit terpaksa menerima janji dengan persyaratan yang berat yang sangat merugikan baginya. Juga larangan demikian itu mencegah turunnya harga/nilai dari benda yang dibebani hipotik itu kurang dari nilai yang sesungguhnya sehingga berakibat tidak seluruh piutang-piutang kreditur dapat dibayar dari hasil penjualan benda tersebut. Larangan adanya janji yang demikian itu juga kita jumpai pada Credietverband yaitu diatur dalam pasal 12 dari Peraturan mengenai Credietverband yang menentukan semua janji-janji dimana kreditur dikuasakan untuk memiliki benda yang menjadi jaminan adalah batal.
  1. Janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri
Pemegang hipotik yang pertama diberi kemungkinan untuk minta ditetapkan suatu jani bahwa pemegang hipotik diberi kekuasaan yang tidak dapat dicabut kembali untuk menjual benda yang dihipotikkan atas kekuasaan sendiri tanpa perantaraan Pengadilan, manakala debitur tidak memenuhi kewajiban. Dengan syarat bahwa penjualan benda itu setelah dikurangi dengan piutangnya dikembalikan kepada debitur.
Dalam ilmu pegetahuan pernah ada persoalan dan selisih pendapat antara pengarang yaitu mengenai soal apakah pada pelaksanaan janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri itu disitu ada perwakilan atau tidak. Artinya bertindaknya kreditur untuk menjula benda-benda yang dihipotikkan itu mewakili debitur atau melaksanakan haknya sendiri
Penjualan yang dilakukan oleh pemegang hipotik yang pertama yang melaksanakan ketentuan pasal 1178 ayat 2 KUH Perdata itu bertindaknya sebagai kuasa dari eigenaar atau menjual atas haknya sendiri? Pendapat pertama disebut mandaatstheorie, pendapat kedua disebut leer der vereenvoudigde executie.
Ditekankan disini pada kata “vereenvoudigde” sebab disini tidak merupakan executie yang sesungguhnya melainkan pelaksanaan/singkat. Para pengarang pada umumnya mengikuti executie therie, sedangkan HR dalam rentetan Arrest-arrestnya mengikuti mandaats theorie.
Menurut Scholten dikatakan bahwa pelaksanaan janji yang demikian itu tidak ada perwakilan. Sebab menurut Scholten ukurannya untuk adanya perwakilan harus ada kepentingan antara si wakil dan yang diwakili. Pada penjualan itu disitu tidak ada kepentingan dari debitur. Kreditur bertindaknya bukan untuk kepentingan debitur melainkan melaksanakan haknya sendiri, bahkan mungkin bertentangan dengan kehendak debitur. Barang siapa melaksanakan haknya sendiri terhadap benda orang lain selalu menjalankan akte notaries seperti menjalankan keputusan hakim.
Menurut Eggens, dan ini juga diikuti oleh Hoge raad dalam arrest-arrestnya berpendapat bahwa pada pelaksanaan janji yang demikian itu, di situ terdapat perwakilan. Kreditur bertindak menjual barang-barang itu mewakili debitur. Yaitu ternyata dari adanya Volmacht/kuasa dan merupakan onherroepelojk volmacht yaitu kuasa yang tak dapat ditarik kembali sebagaimana menurut ketentuan pasal 1178 ayat 2 KUH Perdata.
Menurut Eggens ukuran untuk adanya perwakilan cukup asal kreditur mempunyai kewenangan untuk menetapkan kedudukan hukum orang lain. Yang menjadi persoalan lagi dalam pelaksanaan “beding van eigen machtige verkoop” ialah bahwa menurut ketentuan Undang-undang groosse akte hipotik mempunyai kekuatan eksekutorial artinya jika debitur tidak memenuhi kewajibannya, kreditur dapat melakukan eksekusi atas barang-barang jaminan secara langsung tanpa campur tangan pengadilan namun prakteknya bank minta campur tangan pengadilan. Kenyataanya dalam praktek sering juga terjadi debitur berusaha mengulur-ulur pemenuhan kewajiban dengan jalan/alas an menunggu keputusan pengadilan dan dengan demikian terbuka kemungkinan untuk masih dapat mengulur waktu lagi dengan jalan naik banding.
Mengenai masalah eksekusi dalam hal debitur ini dalam praktek perbankan sering terjadi procedure sebagai berikut: mula-mula ditempuh jalan damai yaitu debitur disuruh menjual sendiri barang-barang jaminan itu dengan pengawasan dari bank kemudian pembayaran harga barang-barang tersebut harus dilakukan di bank. Jika jalan damai demikian sulit ditempuh maka bank menyerahkan persoalan ke Pengadilan atau PUPN.

  1. Janji tentang sewa (huurbeding)
Pemegang hipotik dapat minta ditetapkan suatu janji yang membatasi pemilik tanah (pemberi hipotik) dalam hal menyewakan tanahnya, yaitu harus seizing pemegang hipotik, atau hanya dapat menyewakan selama waktu tertentu, atau menyewakan dengan cara tertentu atau dibatasi dalam hal besarnya pembayaran uang muka, karena semuanya itu akan merugikan kreditur jika benda itu harus dilelang mengingat berlakunya pasal 1576 KUH Perdata, mengenai asas “Koop breekt geen huur”, janji sewa yang demikian itu tidak hanya mengikat para pihak melainkan juga mengikat pihak ketiga, mereka memperoleh hak. Kalau janji yang demikian itu dilanggar oleh pemilik tanah maka pemegang hipotik dapat menuntut pelaksanaan janji tersebut dari si penyewa, yaitu dapat menuntut pembatalan perjanjian sewa-menyewa itu.
Ada persoalan bagaimana jika tanah objek hipotik itu dijual oleh pemegang hipotik untuk melunasi hutang-hutang pemberi hipotik, apakah pembeli tanah itu juga mempunyai hak untuk menegur penyewa apabila dulu pemilik tanah melanggar janji tentang sewa.
Menurut Scholten, sesuai dengan pendiriannya bahwa dalam melaksankan penjualan tanah yang dibebani hipoti di situ bertindaknya pemegang hipotik bukan mewakili pemilik tanah melainkan melaksanakan haknya sendiri, maka haknya pemegang hipotik untuk menegur penyewa itu dianggap beralih kepada pambeli tanah. Jadi pembeli tanah dapat menegur penyewa atau menuntut pembatalan manakala janji itu dilanggar.
Sedangkan menurut Jurisprudensi Hoge Raad di Negeri Belanda pembeli tidak dapat menegur penyewa, oleh karena pemegang hipotik dalam menjual tanah itu bertindak mewakili pemilik tanah maka yang beralih kepada pembeli ialah hak-hak dari pemilik tanah, tidak termasuk hak untuk menegur penyewa karena hak untuk menegur penyewa itu adalah hak dari pemegang hipotik.
Lain halnya dengan janji untuk menjual bendanya atas kekuasaan sendiri, janji tentang sewa ini dapat dibuat oleh pemegang hipotik yang pertama, kedua dan seterusnya. Justru ini penting bagi pemenang hipotik yang terakhir yang biasanya lebih dapat dirugikan daripada pemegang hipotik yang pertama karena adanya perjanjian-perjanjian sewa yang merugikan.

  1. Janji untuk tidak dibersihkan
Pemegang hipotik pertama dapat minta diperjanjikan agar hipotiknya tidak dibersihkan/dihilangkan dalam hal terjadi penjualan tanahnya oleh pemilik. Pasal 1210 ayat 1 KUH Perdata menentukan bahwa apabila tanah yang dibebani hipotik itu dijual baik oleh pemegang hipotik untuk memenuhi piutangnya maupun oleh pemilik tanah sendiri maka si pembeli dapat minta agar dari beban yang melebihi harga pembelian hipotik damikian itu dibersihkan. Hal demikian itu akan merugikan si pemegang hipotik karena untuk sisa piutangnya lalu sudah tidak dijamin dengan hipotik lagi dilaksanakannya pembersihan itu dengan mencatumkan janji demikian tadi di dalam akte hipotik.
Namun janji yang demikian hanya dapat diadakan terhadap penjualan oleh pemilik tanah sendiri bukan penjualan tanah oleh pemegang hipotik guna melaksanakan haknya atau atas perintah pengadilan.


  1. Janji tentang asuransi
Janji yang senantiasa juga dicantumkan dalam akte ialah janji tentang asuransi. Yaitu perjanjian bahwa terhadap benda objek hipotik yang diasuransikan jika kemudian tertimpa kebakaran, banjir, dan sebagainya, maka uang asuransi harus diperhitungkan untuk pembayaran piutang pemegang hipotik. Janji yang demikian itu harus diberitahukan kepada perusahaan asuransi supaya perseroan asuransi terikat oleh adanya janji yang demikian yang dibuat oleh pemberi hipotik dan pemegang hipotik.
Di samping cara-cara yang telah ditentukan dalam undang-undang hapusnya hipotik dimungkinkan juga terjadi karena hapusnya hak atas tanah yang bersangkutan, berdasarkan Surat Menteri Dalam Negeri tanggal 27 Oktober 1970 No. BA 10/241/10. Dengan hapusnya hipotik karena hapusnya hak atas tanah yang bersangkutan yang hapus hanya perjanjian hipotiknya tidak menghapuskan perutangan yang pokok.
Karenanya bank harus hati-hati dan seksama dalam menghadapi kemungkinan tersebut di atas, dengan mencantumkan janji-janji tertentu di dalam akte pembebanannya untuk mencegah kemungkinan timbulnya kerugian bagi kreditur di samping adanya sifat pemberian perlindungan/pelipur dari penguasa.
Kemungkinan janji-janji khusus tersebut adalah sebagai berikut:
  • Jika tanah hapus karena pencabutan hak maka diperjanjikan bahwa pengganti kerugian yang diberikan kepada debitur akan dipergunakan untuk pelunasan hutangnya debitur.
  • Jika tanah hapus karena pembatalan dan kembali dalam kekuasaan Negara, maka hendaknya pemerintah memberikan hak kepada kreditur untuk melanjutkan hak tersebut dan mempunyai wenang untuk menjual hak tersebut.
  • Jika tanah hapus karena habisnya waktu yang diberikan selayaknya bank memperhitungkan dengan seksama jangka waktu pemberian hak tersebut.
Untuk keseragaman permohonan Roya yang diajukan oleh bank hendaknya dicantumkan dalam blangko tertentu yang dibuat oleh Ditjen Agraria. Demikian juga mengenai pelaksanaan roya hendaknya ada keseragaman.





PENUTUP

Kesimpulan:
Hipotik adalah suatu hak kebendaan atas suatu benda yang tak bergerak, bertujuan untuk mengambil pelunasan suatu hutang dari (pendapatan penjualan ) benda itu. Sedangkan objek Hipotik adalah tanah, bangunan dan kapal laut yang berukuran 20 misi kotor ke atas. Sifat-sifat hipotik itu sendiri ada empat yaitu accessoir, tidak dapat dibagi-bagi, zaaksgevolg dan lebih didahulukan pemenuhannya dari piutang lainnya
Adapun asas-asas hipotik meliputi asas publiciteit, asas specialiteit, dan asas tak dapat dibagi-bagi (Ondeelbaarheid). Isi dari akte hipotik yaitu bersifat wajib dan fakultatif. Di dalam hipotik ada perjanjian yang harus dipenuhi yaitu janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri, janji tentang sewa, janji untuk tidak dibersihkan, dan janji tentang Asuransi.







MAKALAH GADAI


MAKALAH GADAI



GADAI

PENGERTIAN GADAI
Gadai dalam bahasa Arab dikenal dengan sebutan Rahn. Kata rahn itu sendiri secara etimologis berarti tanggung jawab, sebagaimana yang difirmankan Allah Azza wa Jalla
“Tiap-tiap diri itu bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya. ” (Al-Mudatsir: 38)
Demikian juga sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Jiwa seorang mukmin itu tergantung pada hutangnya sehingga dilunasi. ” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, Baihaqi, Hakim. Hakim mengatakan, dengan syarat Bukhari dan Muslim)
Sedangkan menurut syari’at, rahn berarti menilai suatu barang dengan harga tertentu atas suatu hutang, yang dimungkinkan pembayaran hutang itu dengan mengambil sebagian dari barang tersebut.[1]
Badrul Zaman, 1991.
Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berhutang atau oleh seorang lain atas namanya dan yang memberikan kekuasaan kepada si piutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan dari pada orang-orang berpiutang lainnya dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana yang harus didahulukan.[2]
Istilah gadai berasal dari terjemahan dari kata pand (bahasa Belanda) atau pledge atau pawn (bahasa Inggris). Pengertian gadai tercantum dalam Pasal 1150 KUH Perdata. Menurut Pasal 1150 KUH Perdata, gadai adalah :
“ Suatu hak yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak yang diserahkan kepadanya oleh debitur atau oleh kuasanya, sebagai jaminan atas utangnya dan yang memberi wewenang kepada kreditur untuk mengambil pelunasan piutangnya dari barang itu dengan mendahului kreditur-kreditur lain, dengan pengecualian biaya penjualan sebagai pelaksanaan putusan atas tuntutan mengenai pemilikan atau penguasaan dan biaya penyelamatan barang itu, yang dikeluarkan setelah barang itu diserahkan sebagai gadai yang harus didahulukan”.[3]
SIFAT-SIFAT UMUM GADAI
  • Gadai adalah untuk benda bergerak Artinya obyek gadai adalah benda bergerak baik berwujud maupun tidak berwujud (hak tagihan).
  • Sifat kebendaan. Artinya memberikan jaminan bagi pemegang gadai bahwa dikemudian hari piutangnya pasti dibayar dari nilai barang jaminan.
  • Benda gadai dikuasai oleh pemegang gadai. Artinya benda gadai harus diserahkan oleh pemberi gadai kepada pemegang gadai.
  • Hak menjual sendiri benda gadai. Artinya hak untuk menjual sendiri benda gadai oleh pemegang gadai.
  • Hak yang didahulukan
  • Hak accessoir. Artinya hak gadai tergantung pada perjanjian pokok. [4]
DASAR HUKUM GADAI
Dasar Hukum gadai dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan berikut ini :
  1. Pasal 1150 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1160 Buku II KUH Perdata;
  2. Artikel 1196 vv, titel 19 Buku III NBW;
  3. Peraturan Pemerintah Nomor : 7 tahun 1969 tentang Perusahaan Jawatan Pegadaian;
  4. Peraturan Pemerintah Nomor : 10 tahun 1970 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor : 7 tahun 1969 tentang Perusahaan Jawatan; dan
  5. Peraturan Pemerintah Nomor : 103 tahun 2000 tentang Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian[5]
HUKUM GADAI MENURUT ISLAM
Sebagaimana halnya dengan jual beli, gadai diperbolehkan, karena segala sesuatu yang boleh dijual boleh juga digadaikan. Dalil yang melandasinya telah ditetapkan dalam Al-Qur’an, Al-Sunnah dan ijma’.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah befirman:
“Dan jika kalian dalam perjalanan (dan bermu ’amalah tidak secara tunai) sedang kalian tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tangggungan yang dipegang. ” (Al-Baqarah: 283)
Ayat tersebut di atas bermakna bahwa Allah Subahanahu wa Ta’ala memerintahkan orang yang melakukan suatu transaksi dengan orang lain, sedang bersamanya tidak ada juru tulis, maka hendaklah dia memberikan suatu
barang sebagai jaminan (gadai) kepada orang yang memberikan hutang kepadanya supaya merasa tenang dalam melepaskan uangnya tersebut. Selanjutnya hendaklah peminjam menjaga uang atau barang-barang hutangan itu agar tidak hilang atau dihamburkan tanpa ada manfaat.
Sedangkan dalam hadits lain disebutkan,
“Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallampernah menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi, (bernama Abu Syahm) dengan tiga puluh sha’ gandum untuk keluarganya. ” (Muttafaqun ‘Alaih)
Dalam hadits di atas terdapat pengertian yang membolehkan mu’amalah dengan ahlul kitab.
Dan para ulama telah melakukan ijma’ yang membolehkan gadai.[6]
OBJEK HUKUM GADAI
Apabila ketentuan dalam Pasal 1150 KUH Perdata dihubungkan dengan ketentuan dalam Pasal 1152 ayat (1), Pasal 1152, Pasal 1153 dan Pasal 1158 ayat (1) KUH Perdata, jelas pada dasarnya semua kebendaan bergerak dapat menjadi objek hukum hak gadai sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor : 4/248/UPPK/PK tanggal 16 Maret 1972. Namun menurut Surat Edaran tersebut tidak semua jenis kebendaan bergerak dapat dibebani dengan gadai, terdapat jenis kebendaan bergerak lainnya yang dibebani dengan jaminan fidusia.
Kebendaan bergerak disini dapat kebendaan bergerak yang berwujud atau bertubuh (lichamelijk) dan kebendaan bergerak yang tidak berwujud atau bertubuh (onlichamelijk) berupa piutang atau tagihan-tagihan dalam bentuk surat berharga.[7]
Dewasa ini lembaga gadai masih berjalan terutama pada lembaga pegadaian. Dalam perjanjian kredit perbankan, lembaga gadai tidak begitu popular, sudah jarang ditemukan bagi benda berwujud. Akan tetapi penggunaan gadai bagi benda tidak berwujud seperti surat-surat berharga dan saham-saham mulai banyak digunakan pada beberapa bank. Peningkatan penjaminan saham terjadi seiring dengan pesatnya perkembangan bursa saham di Indonesia. Didalam praktik sering terjadi penjaminan saham yang belum dicetak (not printed) dan yang menjadi bukti yang disimpan oleh pihak bank itu bukti penjaminan sejumlah saham yang berupa resipis atau surat pemerimaan atau kuitansi saja (Djuhaendah Hasan, 1996:283).
Pada dasarnya semua kebendaan bergerak yang berwujud dapat dijadikan sebagai jaminan pinjaman atau kredit gadai pada lembaga pegadaian. Kredit gadai adalah pemberian pinjaman (kredit) dalam jangka waktu tertentu kepada nasabah atas dasar hukum gadai dan persyaratan tertentu yang telah ditetapkan oleh perusahaan Pegadaian.
SUBYEK HUKUM GADAI
Subjek gadai terdiri atas dua pihak, yaitu pemberi gadai (pandgever) dan penerima gadai (pandnemer). Pandgever adalah orang atau badan hukum yang memberikan jaminan dalam bentuk benda bergerak selaku gadai kepada penerima gadai untuk pinjaman uang yang diberikan kepadanya atau pihak ketiga. Unsur-unsur pemberi gadai adalah :
  1. Orang atau badan hukum;
  2. Memberikan jaminan berupa benda bergerak;
  3. Kepada penerima gadai;
  4. Adanya pinjaman uang;
Penerima gadai (pandnemer) adalah orang atau badan hukum yang menerima gadai sebagai jaminan untuk pinjaman uang yang diberikannya kepada pemberi gadai (pandgever). Di Indonesia, badan hukum yang ditunjuk untuk mengelola lembaga gadai adalah perusahaan pegadaian. Perusahaan ini didirikan berdasarkan :
  1. Peraturan Pemerintah Nomor : 7 tahun 1969 tentang Perusahaan Jawatan Pegadaian;
  2. Peraturan Pemerintah Nomor : 10 tahun 1970 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor : 7 tahun 1969 tentang Perusahaan Jawatan; dan
  3. Peraturan Pemerintah Nomor : 103 tahun 2000 tentang Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian.[8]
Sifat usaha dari perusahaan pegadaian ini adalah menyediakan pelayanan bagi kemanfaatan umum dan sekaligus memupuk keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan. Maksud dan tujuan perum ini adalah :
  1. Turut meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terutama golongan ekonomi lemah kebawah melalui penyediaan dana atas dasar hukum gadai dan jasa dibidang keuangan lainnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
  2. Menghindarkan masyarakat dari gadai gelap, praktik riba dan pinjaman tidak wajar lainnya (Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor : 103 tahun 2000 tentang Perusahaan Umum Pegadaian.
Usaha yang paling menonjol dilakukan oleh Perum Pegadaian adalah menyalurkan uang (kredit) berdasarkan hukum gadai. Artinya bahwa barang yang digadaikan itu harus diserahkan oleh pemberi gadai kepada penerima gadai, sehingga barang-barang itu berada dibawah kekuasaan penerima gadai. Asas ini disebut dengan asas inbezitzeteling.[9]
BARANG YANG DAPAT DIGADAI
Badrul Zaman, 1991.
Barang yang dapat digadaikan yaitu semua barang bergerak seperti barang-barang perhiasan, elektronik, peralatan rumah tangga, mesin, tekstil, dll. Barang yang tidak dapat digadaikan seperti barang milik pemerintah, surat-surat berharga, hewan dan tanaman, bahan makanan dan benda yang mudah busuk, benda-benda yang kotor, benda-benda yang untuk menguasai dan memindahkan dari satu tempat ke tempat lain memerlukan izin, barang yang karena ukurannya yang besar maka tidak dapat disimpan digadaian, barang yang tidak tetap harganya.
RUKUN GADAI
Gadai mempunyai tiga rukun, yaitu:
Pertama, akad yang dilakukan oleh kedua belah pihak, yaitu pemilik uang dengan orang yang berhutang yang menyerahkan suatu jaminan atas pinjamannya.
Kedua, ada objek (barang) yang digadai, yaitu pinjaman dan barang yang digadaikan.
Ketiga, shighah.
Menurut para penganut Imam Hanafi, suatu gadai mempunyai satu rukun, yaitu ijab dan qabul, karena keduanya itulah yang merupakan akad sebenarnya.[10]
HAK DAN KEWAJIBAN PEMEGANG GADAI
Badrul Zaman, 1991.
  • Hak pemegang gadai. Menjual gadai dengan kekuasaan sendiri dan atau dengan perantara hakim, atas izin hakim tetap menguasai benda gadai, mendapat ganti rugi, retorsi dan hak undang-undang untuk didahulukan.
  • Kewajiban pemegang gadai. Bertanggung jawab atas kehilangan atau kerusakan barang gadai karena kelalaiannya, memberitahukan kepada pemberi gadai apabila barang gadai itu di jual dan bertanggung jawab terhadap hasil penjualan barang gadai tersebut.[11]
Kewajiban penerima gadai diatur dalam pasal 1154, 1156, d    an 1157 KUH Perd.:
  1. menjaga barang yang digadaikan sebaik–baiknya;
  2. tidak diperkenalkan mengalihkan barang yang digadaikan menjadi miliknya, walaupun pemberigadai wanprestasi (Pasal 1154 KUH Perd.);
  3. memberitahukan kepada pemberi gadai tentang pemindahan barang–barang gadai (Pasal 1156 KUH Perd.);
  4. bertanggung jawab atas kerugian atau susutnya barang gadai, sejauh hal itu terjadi akibat kelalaiannya (Pasal 1157 KUH Perd.).
HAK DAN KWAJIBAN PEMBERI GADAI
  1. menerima uang gadai dari penerima gadai;
  2. berhak atas barang gadai, apabila hutang pokok, bunga dan biaya lainnya telah dilunasinya;
  3. berhak menuntut kepada pengadilan supaya barang gadai dijual untuk melunasi hutang–hutangnya(Pasal 1156 KUH Perd.).
  4. menyerahkan barang gadai kepada penerima gadai;
  5. membayar pokok dan sewa modal kepada penerima gadai;
  6. membayar biaya yang dikeluarkan oleh penerima gadai untuk menyelamatkan barang–barang gadai (Pasal 1157 KUH Perd.).
HAPUSNYA HAK GADAI :
1) Hapusnya perjanjian pokok yang dijamin dengan gadai
2) Terlepasnya benda gadai dari kekuasaan penerima gadai
3) Musnahnya barang gadai
4) Dilepaskannya benda gadai secara sukarela
5) Percampuran (penerima gadai menjadi pemilik benda gadai)
EKSEKUSI DAN HAPUSNYA JAMINAN GADAI
Pada dasarnya eksekusi barang jaminan gadai dilakukan dengan cara penjualan dimuka umum melalui pelelangan dengan meminta bantuan kantor / badan lelang. Namun berdasarkan parate eksekusi (parate executie), maka kreditor / pemegang gadai mempunyai wewenang penuh tanpa melalui pengadilan untuk mengeksekusi barang jaminan. Hal ini dapat dilakukan bilamana sebelumnya hal tersebut sudah diperjanjikan. Seperti yang dikatakan dalam ketentuan Pasal 1155 ayat 1 KUHPerdata antara lain menyatakan, bahwa ……. Setelah dilakukannya suatu peringatan untuk membayar, menyuruh menjual barang gadainya dimuka umum menurut kebiasaan-kebiasaan setempat …..
Selain itu, penjualan barang jaminan gadai juga dapat dilakukan secara tertutup atau tidak dilakukan penjualan dimuka umum melalui pelelangan.
KUHPerdata tidak mengatur secara khusus mengenai sebab-sebab hapus atau berakhirnya gadai. Namun demikian dari bunyi ketentuan dalam pasal-pasal KUHPerdata yang mengatur mengenai lembaga hak jaminan gadai sebagaimana diatur dalam pasal 1150 sampai dengan pasal 1160 KUHPerdata, kita dapat mengetahui sebab-sebab yang menjadi dasar bagi hapusnya hak gadai yaitu :
  1. Hapusnya perjanjian pokok yang dikarenakan pelunasan utang, perjumpaan utang (kompensasi), pembaruan utang (novasi), atau pembebasan utang;
  2. Lepasnya benda yang digadaikan dari penguasaan kreditor pemegang hak gadai, dikarenakan terlepasnya benda yang digadaikan dari penguasaan kreditor pemegang gadai, dilepaskannya benda gadai secara sukarela oleh pemegangnya atau hapusnya benda yang digadaikan;
  3. Terjadinya percampuran, dimana pemegang gadai sekaligus juga menjadi pemilik barang yang digadaikan, dan;
  4. Terjadinya penyalahgunaan barang gadai oleh kreditur pemegang gadai[12]
PERBEDAAN GADAI DAN HIPOTIK
  1. Gadai harus disertai dengan pernyataan kekuasaan atas barang yang digadaikan, sedangkan hipotik tidak.
2 Gadai hapus jika barang yang digadaikan berpindah tangan ke orang lain, sedangkan hipotik tidak, tetapi teap mengikuti bendanya walaupun bendanya dipindahtangankan ke orang lain.
  1. Satu barang tidak pernah dibebani lebih dari satu gadai walaupun tidak dilarang, tetapi beberapa hipotik yang bersama-sama dibebankan diatas satu benda adalah sudah merupakan keadaan biasa.
  2. Adanya gadai dapat dibuktikan dengan segala macam pembuktian yang dapat dipakai untuk membuktikan perjanjian pokok sedangkan adanya perjanjian hipotik dibuktikan dengan akta otentik

HUKUM JAMINAN GADAI



HUKUM JAMINAN GADAI



Sejarah Jaminan Fidusia
Kata “fiducia” berasal dari bahasa Latin, yang merupakan kata benda artinya kepercayaan terhadap sesuatu, pengharapan yang besar. Selain itu, terdapat kata “fido” meripakan kata kerja yang berrati mempercayai seseorang atas sesuatu.Dalam fiducia terkandung kata “fides” berarti kepercayaan. Pihak berutang percaya bahwa pihak  berpiutang memiliki barangnya itu hanya untuk jaminan.Subekti  menjelaskan arti kata “fiduciair” adalah kepercayaan yang diberikan secara bertimbal balik oleh satu pihak kepada pihak lain bahwa apa yang keluar ditampakkan sebagai pemindahan hak milik, sebenarnya ke dalam (intern) hanya suatu jaminan saja untuk suatu utang.
Lembaga Jaminan Fidusia timbul pertama kali di Indonesia berdasarkan yurisprudensi dan baru pada tanggal 30 September 1999 diatur dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. UUF merupakan salah satu sarana hukum dalam pembangunan bidang ekonomi khususnya perkreditan, yang memiliki makna penting bagi pembangunan antara lain bidang perdagangan, perumahan, perindustrian, dan transportasi. Dalam Pasal 1 angka 1 UUF dikatakan bahwa fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.
Dalam UUF diatur ciri-ciri yang sempurna dari jaminan fidusia ini dan dengan pendaftarannya maka jaminan fidusia memperoleh sifat sebagai hak kebendaan (zakelij recht, real right, right in rem) dan tidak lagi sebagai perjanjian.17 Jaminan fidusia merupakan jaminan kebendaan yang bersifat perjanjian ikutan (accesoir) dari suatu perjanjian pokok, yaitu perjanjian kredit. Hal tersebut dicantumkan dalam Pasal 4 UUF. Sebagai suatu sistem hukum, UUF merupakan kumpulan unsurunsur yuridis (pasal-pasalnya berkaitan satu sama lain dan dibangun di atas asas-asas hukum jaminan fidusia) yang mempunyai tujuan agar tercipta tertib hukum jaminan fidusia baik pada tataran normatif maupun tataran praktik. Walaupun sudah dirancang sedemikian rupa, bukan berartii dalam pelaksanaannya tidak memimbulkan masalah hukum, sehingga sesuatu yang dicita-citakan dalam UUF belum dapat diwujudkan sebagaimana yang seharusnya.
<[2]> Jaminan Fidusia diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaaan dengan
ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan
pemilik benda. Fidusia sebagai perjanjian assessoir maksudnya adalah perjanjian assessoir itu tidak mungkin berdiri sendiri, tetapi mengikuti/membuntuti perjanjian lainnya yang merupakan perjanjian pokok. Dalam hal ini, yang merupakan perjanjian pokok adalah perjanjian hutang piutang. Karena itu, konsekuensi dari perjanjian assessoir ini adalah bahwa jika perjanjian pokok tidak sah, atau karena sebab apa pun hilang berlakunya atau dinyatakan
tidak berlaku, maka secara hukum perjanjian Fidusia sebagai perjanjian assessoir juga ikut menjadi batal.
Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No. 4 Tahun 1996 (BN. No. 5847 hal 1B-3B) tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan uang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditur lainnya
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia berlaku terhadap setiap perjanjian yang bertujuan untuk membebani Benda dengan Jaminan Fidusia, terutama bagi Lembaga Pembiayaan (Leasing).
Pembebanan Fidusia dilakukan dengan menggunakan instrument yang disbut dengan AKTA JAMINAN FIDUSIA, yang harus memenuhi syarat-syarat yaitu berupa Akta Notaris dan didaftarkan pada Pejabat yang berwenang. Dengan pendaftaran ini, diharapkan agar pihak debitur, terutama yang nakal, tidak dapat lagi mengibuli kreditur atau calon kreditur dengan memfidusiakan sekali lagi atau bahkan menjual barang Obyek Jaminan Fidusia tanpa sepengetahuan kreditur asal di Kantor Pendaftaran Fidusia yang berada dibawah naungan Departemen Hukum dan HAM R.I.. Sertipikat Jaminan Fidusia sebagai bukti bahwa penerima Fidusia memiliki hak Fidusia tersebut.
Penerima Fidusia memiliki Hak Prefensi yaitu hak untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi Obyek Jaminan Fidusia. Hak Prefensi baru diperoleh pada saat didaftarkannya Fidusia di Kantor Pendaftaran Fidusia dan Hak dimaksud tidak hapus karena adanya kepailitan dan atau likuidasi Pemberi Fidusia. Jika piutang dialihkan kepada pihak lain, maka Fidusia yang menjamin hutang tersebut juga ikut beralih kepada pihak yang menerima pengalihan Fidusia. Jadi seandainya karena alasan apapun, benda Jaminan Fidusia tersebut beralih ke tangan orang lain, maka Fidusia atas benda tersebut tetap saja berlaku dan tidak ada kewajiban dan tanggung jawab dari Penerima Fidusia atas akibat kesalahan (kesengajaan atau kelalaian) dari Pemberi Fidusia, yang timbul karena hubungan kontraktual ataupun karena perbuatan melawan hukum, sehubungan dengan penggunaan dan pengalihan benda yang menjadi Obyek Jaminan Fidusia tersebut.
Apabila atas Benda yang sama menjadi obyek Jaminan Fidusia lebih dari 1 (satu) perjanjian Jaminan Fidusia, maka hak yang didahulukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27, diberikan kepada hak yang lebih dahulu mendaftarkannya pada Kantor Pendaftaran Fidusia.
Pengertian Fidusia dan Jaminan Fidusia
  1. Latar Belakang Terjadinya jaminan Fidusia.
Latar belakang timbulnya lembaga fidusia, sebagaimana dipaparkan oleh para ahli adalah karena ketentuan undang-undang yang mengatur tentang lembaga pand (gadai) mengandung banyak kekurangan, tidak memenuhi kebutuhan masyarakat dan tidak dapat mengikuti perkembangan masyarakat (Sri Soedewi Masjhoen Sofwan, 1977: 15-116).
Berdasarkan perkembangan dalam sejarahnya, Fidusia ini berawal dari suatu perjanjian yang hanya didasarkan pada kepercayaan.  Namun lama kelamaan dalam prakteknya diperlukan suatu kepastian hukum yang dapat melindungi kepentingan para pihak.
  1. Pengertian Fidusia
Fidusia menurut asal katanya berasal dari bahasa Romawi fides yang berarti kepercayaan. Fidusia merupakan istilah yang sudah lama dikenal dalam bahasa Indonesia. Begitu pula istilah ini digunakan dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Dalam terminologi Belanda istilah ini sering disebut secara lengkap yaitu Fiduciare Eigendom Overdracht (F.E.O.) yaitu penyerahan hak milik secara kepercayaan. Sedangkan dalam istilah bahasa Inggris disebut Fiduciary Transfer of Ownership.
Pengertian fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda. Sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia terdapat berbagai pengaturan mengenai fidusia diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun telah memberikan kedudukan fidusia sebagai lembaga jaminan yang diakui undang-undang.
Menurut Undang-undang nomor 42 Tahun 1999, pengertian  Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda  yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.
Pengertian FIDUSIA pasal 1 ayat 1 fidusia adalah: “pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya yang diadakan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda itu.”
Dr. A. Hamzah dan Senjun Manulang mengartikan fidusia adalah: “Suatu cara pengoperan hak milik dari pemiliknya (debitur) berdasarkan adanya perjanjian pokok (perjanjian utang piutang) kepada kreditur, akan tetapi yang diserahkan hanya haknya saja secara yuridise-levering dan hanya dimiliki oleh kreditur secara kepercayaan saja (sebagai jaminan uant debitur), sedangkan barangnya tetap dikuasai oleh debitur, tetapi bukan lagi sebagai eigenaar maupun bezitter, melainkan hanya sebagai detentor atau houder dan atas nama kreditur- eigenaar” (A. Hamzah dan Senjun Manulang, 1987).
Pengertian Jaminan Fidusia.
Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak bewujud dan  benda tidak bergerak khususnya Bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagai mana dimaksud  dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan  Pemberi Fidusia (debitor), sebagai agunan bagi pelunasan uang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan  kepada Penerima Fidusia (kreditor) terhadap kreditor lainnya.
Jaminan fidusia adalah perjanjian hutang piutang kreditor kepada debitor  yang melibatkan penjaminan. Jaminan tersebut kedudukannya masih dalam penguasaan pemilik jaminan.  Tetapi untuk  menjamin kepastian hukum bagi  kreditor maka dibuat akta yang dibuat oleh notaris dan didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia. Nanti kreditor akan memperoleh sertifikat jaminan fidusia berirah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Dari definisi yang diberikan jelas bagi kita bahwa Fidusia dibedakan dari Jaminan Fidusia, dimana Fidusia merupakan suatu proses pengalihan hak kepemilikan dan Jaminan Fidusia adalah jaminan yang diberikan dalam bentuk fidusia
<[5]> Sifat-sifat dari Jaminan Fidusia
Adapun yang menjadi sifat dari jaminan fidusia antara lain:
  1. Jaminan Fidusia memiliki sifat accessoir.
  2. Jaminan Fidusia memberikan Hak Preferent (hak untuk didahulukan).
  3. Jaminan Fidusia memiliki sifat droit de suite.
  4. Jaminan Fidusia untuk menjamin utang yang sudah ada atau yang akan ada.
  5. Jaminan Fidusia memiliki kekuatan eksekutorial.
  6. Jaminan Fidusia mempunya sifat spesialitas dan publisitas.
  7. Objek jaminan fidusia berupa benda bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, dan benda tidak bergerak yang tidak dibebankan dengan Hak Tanggungan, serta benda yang diperoleh dikemudian hari.
Undang-Undang Jaminan Fidusia.
Jaminan fidusia sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (2) Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya.
Terkait dengan ketentuan di atas, maka berikut penjelasan mengenai proses pembebanan fidusia serta hal-hal yang menyebabkan hapusnya jaminan fidusia, dan berikut penjelasannya:
<[6]> Unsur dan Sifat Jaminan Fidusia
1.Unsur Jaminan Fidusia
  • fidusia diberikan atas benda bergerak dan benda tidak bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan atau hipotek.
  • fidusia merupakan jaminan serah kepemilikan yaitu debitur tidak menyerahkan benda jaminan secara fisik kepada kreditur tetapi tetap berada di bawah kekuasaan debitur (constitutum possessorium), namun pihak debitur tidak diperkenankan mengalihkan benda jaminan tersebut kepada pihak lain (debitur menyerahkan hak kepemilikan atas benda jaminan kepada kreditur)
Sifat Jaminan Fidusia
Fiducia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok, dan bukan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi. Perjanjian Fidusia tidak disebut secara khusus dalam KUH Perdata. Karena itu, perjanjian ini tergolong dalam perjanjian tak bernama (Onbenoem De Overeenkomst).
  • Bersifat memaksa, karena dalam hal ini terjadi penyerahan hak milik atas benda yang dijadikan obyek Jaminan Fidusia, walaupun tanpa penyerahan fisik benda yang dijadikan obyek jaminan.
  • Dapat digunakan, digabungkan, dicampur atau dialihkan terhadap benda atau hasil dari benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia dengan persetujuan dari Penerima Fidusia.
  • Bersifat individualiteit, bahwa benda yang dijadikan obyek Jaminan Fidusia melekat secara utuh pada utangnya sehingga meskipun sudah dilunasi sebagian, namun hak fidusia atas benda yang dijadikan obyek jaminan tidak dapat hapus dengan begitu saja hingga seluruh utang telah dilunasi.
  • Bersifat menyeluruh (totaliteit), berarti hak kebendaan atas fidusia mengikuti segala ikutannya yang melekat dan menjadi satu kesatuan dengan benda terhadap mana hak kebendaan diberikan.
  • Tidak dapat dipisah-pisahkan (Onsplitsbaarheid), berarti pemberian fidusia hanya dapat diberikan untuk keseluruhan benda yang dijadikan jaminan dan tidak mungkin hanya sebagian saja.
  • Bersifat mendahulu (droit de preference), bahwa Penerima Fidusia mempunyai hak yang didahulukan terhadap kreditur lainnya untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang dijadikan obyek Jaminan Fidusia.
  • Mengikuti bendanya (Droit de suite), pemegang hak fidusia dilindungi hak kebendaannya
  • Jaminan Fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia dalam tangan siapapun benda itu berada, kecuali pengalihan atas benda persediaan yang menjadi obyek Jaminan Fidusia.
    • Harus diumumkan (asas publisitas), benda yang dijadikan obyek Jaminan Fidusia wajib didaftarkan, hal ini merupakan jaminan kepastian terhadap kreditur lainnya mengenai benda yang telah dibebani Jaminan Fidusia.
  • Berjenjang/Prioriteit (ada prioritas yang satu atas yang lainnya), hal ini sebagai akibat dari kewajiban untuk melakukan pendaftaran dalam pembebanan Jaminan Fidusia dan apabila atas benda yang sama menjadi obyek lebih dari 1 (satu) perjanjian Jaminan Fidusia Sebagai Jura in re Aliena (yang terbatas), Fidusia adalah hak kebendaan yang bersifat terbatas, yang tidak memberikan hak kebendaan penuh kepada Pemegang atau Penerima Fidusia. Jaminan Fidusia hanya sematamata ditujukan bagi pelunasan utang. Fidusia hanya memberikan hak pelunasan mendahulu, dengan cara menjual sendiri benda yang dijaminkan dengan Fidusia.
<[7]> Subjek dan Objek Hukum Jaminan Fidusia
  
Subjek Hukum Jaminan Fidusia
  • Dari segi individu (person), yang menjadi subyek fidusia adalah :
    a) Orang perorangan
  1. b) Korporasi.
  • Para Pihak, yang menjadi subyek fidusia adalah :
  1. a) Pemberi Fidusia atau Debitur
  2. b) Penerima Fidusia atau Kreditur.
Objek Hukum Jaminan Fidusia
  1. a) Benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud.
    b) Benda tidak bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan atau hipotek, yaitu bangunan di atas tanah milik orang lain, sebagai contoh rumah susun, apartemen.
Dasar Hukum Jaminan Fidusia
  1. Arrest Hoge Raad 1929 tertanggal 25 Januari 1929 tentang Bierbrouwerij Arrest (Negeri Belanda)
    2. Arrest Hoggerechtshof 18 agustus 1932 ttg BPM-Clynet Arrest (Indonesia), dan
    3. Undang-undang Nomor 42 Tahun1999 tentang Jaminan Fidusia.
Pembebanan dan Kedudukan Benda dalam Jaminan Fidusia
Pembebanan Jaminan Fidusia
  1. a) Benda jaminan fidusia dapat dibebankan berkali-kali kepada kreditur yang berbeda;
    Catatan :
    Pasal 17 UU tentang Fidusia mengatur larangan melakukan Fidusia ulang terhadap benda yang menjadi obyek jaminan fidusia yang sudah terdaftar.
    b) Jaminan Fidusia dapat diberikan kepada lebih dari satu Penerima Fidusia atau Kuasa/Wakil Penerima Fidusia, dalam rangka pembiayaan kredit konsorsium
    c) Pembebanan benda dengan Jaminan Fidusia dibuat dengan akta notaris dan merupakan akta Jaminan Fidusia.
  2. d) Benda yang dibebani dengan Jaminan Fidusia wajib didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia untuk diterbitkan Sertifikat Jaminan Fidusia Penerbitan Sertifikat Jaminan Fidusia yang di dalamnya dicantumkan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, sehingga mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
<[8]> Kedudukan Jaminan Fidusia
Hak kepemilikan atas benda jaminan diserahkan kepada Kreditur/Penerima Fidusia, sedangkan benda jaminan secara fisik masih berada dibawah penguasaan Debitur/Pemberi Fidusia. Tanggung Jawab Jaminan Fidusia baik bagi Pemberi ataupun Penerima
1. Penerima Fidusia :
  1. a) wajib mendaftarkan jaminan fidusia kepada Kantor Pendaftaran Fidusia;
    b) wajib mengajukan permohonan pendaftaran atas perubahan dalam Sertifikat Jaminan Fidusia kepada Kantor Pendaftaran Fidusia;
  2. c) wajib mengembalikan kepada Pemberi Fidusia dalam hal hasil eksekusi melebihi nilai penjaminan;
    d) wajib memberitahukan kepada Kantor Pendaftaran Fidusia mengenai hapusnya jaminan fidusia.
Pengecualian:
Penerima Fidusia tidak menanggung kewajiban atas akibat tindakan atau kelalaian Pemberi Fidusia baik yang timbul dari hubungan kontraktual atau yang timbul dari perbuatan melanggar hukum sehubungan dengan penggunaan dan pengalihan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia.
  1. Pemberi Fidusia :
  2. a) dalam hal pengalihan benda yang menjadi obyek jaminan fidusia, wajib menggantinya dengan obyek yang setara;
  3. b) wajib menyerahkan benda yang menjadi obyek jaminan fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi;
    c) tetap bertanggung jawab atas utang yang belum terbayarkan.
  4. Hak dan Larangan Jaminan Fidusia
9. Hak Jaminan Fidusia
  1. Penerima Fidusia mempunyai hak:
  2. a) Kepemilikan atas benda yang dijadikan obyek fidusia, namun secara fisik benda tersebut tidak di bawah penguasaannya.
  3. b) Dalam hal debitur wanprestasi, untuk menjual benda yang menjadi obyek jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri (parate eksekusi), karena dalam Sertifikat Jaminan Fidusia terdapat adanya titel eksekutorial, sehingga mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
  4. c) Yang didahulukan terhadap kreditur lainnya untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi obyek jaminan fidusia;
    d) Memperoleh penggantian benda yang setara yang menjadi obyek jaminan dalam hal pengalihan jaminan fidusia oleh debitur;
  5. e) Memperoleh hak terhadap benda yang menjadi obyek jaminan fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi;
  6. f) Tetap berhak atas utang yang belum dibayarkan oleh debitur.
  7. Pemberi Fidusia mempunyai hak:
  8. a) tetap menguasai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia;
    b) dapat menggunakan, menggabungkan, mencampur atau mengalihkan benda atau hasil dari benda yang menjadi obyek jaminan fidusia, atau melakukan penagihan atau melakukan kompromi atas utang apabila Penerima Fidusia menyetujui.
<[10]> Larangan Jaminan Fidusia
  1. a) Pemberi Fidusia dilarang melakukan fidusia ulang terhadap benda yang menjadi obyek jaminan fidusia yang sudah terdaftar.
    b) Pemberi Fidusia dilarang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan kepada pihak lain benda yang menjadi obyek jaminan fidusia yang tidak merupakan benda persediaan, kecuali dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Penerima Fidusia.
Proses Eksekusi Jaminan Fidusia
Apabila debitur atau Pemberi Fidusi cidera janji, eksekusi terhadap benda yang menjadi obyek Jaminan Fidus dapat dilakukan dengan cara :
  1. a) Pelaksanaan titel eksekutoria oleh Penerima Fidusia, berarti eksekusi langsung dapat dilaksanakan tanpa melalui pengadilan dan bersifat final serta mengikat para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut.
  2. b) Penjualan benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia atas kekuasaan Penerima Fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan; Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan bersama jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak
  3. c) Pelaksanaan penjualan dibawah tangan dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh Para Pihak kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikitnya dalam 2 (dua) surat kabar di daerah yang bersangkutan.
Hapusnya Jaminan Fidusia
  1. a)         Hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia;
    b)         Adanya pelepasan hak atas Jaminan Fidusia oleh Penerima Fidusia
  2. c)         Musnahnya benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia.
Sanksi Jaminan Fidusia
  1. a) Setiap orang yang dengan sengaja memalsukan, mengubah, menghilangkan atau dengan cara apapun memberikan keterangan secara menyesatkan yang jika hal tersebut diketahui oleh salah satu pihak tidak melahirkan perjanjian jaminan fidusia
  2. b) Pemberi Fidusia yang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan Benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia yang dilakukan tana persetujuan tertulis dari Penerima Fidusia.
11. Proses Eksekusi
Bahwa asas perjanjian pacta sun servanda yang menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak yang bersepakat, akan menjadi undang-undang bagi keduanya, tetap berlaku dan menjadi asas utama dalam hukum perjanjian. Tetapi terhadap perjanjian yang memberikan penjaminan fidusia  di bawah tangan tidak dapat dilakukan eksekusi. Proses eksekusi harus dilakukan dengan cara mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri melalui proses hukum acara yang normal hingga turunnya putusan pengadilan. Inilah pilihan yang prosedural hukum formil agar dapat menjaga keadilan dan penegakan terhadap hukum materiil yang dikandungnya.
Proses ini hampir pasti memakan waktu panjang, kalau para pihak menggunakan semua upaya hukum yang tersedia.  Biaya yang musti dikeluarkan pun tidak sedikit. Tentu saja, ini sebuah pilihan dilematis. Dalih mengejar margin besar juga harus mempertimbangkan rasa keadilan semua pihak.  Masyarakat yang umumnya menjadi nasabah juga harus lebih kritis dan teliti dalam melakukan transaksi. Sementara bagi Pemerintah, kepastian, keadilan dan ketertiban hukum adalah penting.