Sunday, December 27, 2015

MAKALAH HAK TANGGUNGAN


HAK TANGGUNGAN


Berdasarkan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”), definisi atas Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan undang-undang ini.
Hak Pakai dapat diberikan kepada:
  • Warga Negara Indonesia;
  • Orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
  • Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
  • Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan Pemerintah Daerah;
  • Badan-badan keagamaan dan sosial;
  • Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia;
  • Perwakilan negara asing dan perwakilan Badan Internasional.
Pada dasarnya Hak Pakai dapat dialihkan. Dalam hal terdapat tanah yang merupakan tanah yang dikuasai oleh negara, maka Hak Pakai hanya dapat dialihkan kepada pihak lain dengan izin pejabat yang berwenang. Namun, apabila terdapat tanah yang merupakan tanah hak milik, maka pengalihan Hak Pakai kepada pihak lain hanya dimungkinkan apabila dinyatakan secara tegas dalam perjanjian. Jadi, apabila dalam suatu kejadian pemegang Hak Pakai kehilangan persyaratannya atas hak tersebut, maka pihak tersebut akan kehilangan haknya dan wajib mengalihkannya kepada pihak lain atau Hak Pakai tersebut dihapuskan.
Berdasarkan Permenag No. 9/1999, pengertian dari HPL yaitu hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya. Selanjutnya, berdasarkan Penjelasan Pasal 2 ayat (3) huruf f UU BPHTB, pengertian HPL dijelaskan lebih lengkap lagi yaitu hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya, antara lain berupa perencanaan peruntukandan penggunaan tanah, penggunaan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak ketiga.
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah (“UUHT”) mengatur definisi Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.[3]
OBJEK HAK TANGGUNGAN adalah :
Perolehan tanah dalam rangka penanaman modal oleh suatu perusahaan diatur secara khusus di dalam Keputusan Menteri Agraria / Kepala BPN Nomor 21 Tahun 1994 tentang Tata Cara Perolehan Tanah Bagi Perusahaan dalam Rangka Penanaman Modal (“Kepmenag No. 21/1994”)
  • Hak – hak atas tanah yaitu Hak Milik (HM),
Perolehan tanah dalam rangka penanaman modal berasal dari tanah Hak Milik (“HM”) dapat dilaksanakan sebagai berikut: Atas permohonan pemegang hak atau kuasanya HM atas tanah dapat diubah menjadi HGB. Permohonan perubahan hak tersebut diajukan kepada Kepala Kantor Pertanahan setempat dengan melampirkan formulir dan sertifikat HM yang bersangkutan, atau jika HM itu belum bersertifikat dengan menyertakan alat bukti untuk mendaftarkan konversi HM tersebut.
Untuk HM yang sudah bersertifikat dalam waktu 3 (tiga) hari setelah diterimanya permohonan, Kepala Kantor Pertanahan akan mengeluarkan surat perintah setor pungutan dan dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah diterimanya bukti penyetoran pungutan, perubahan status hak atas tanah tersebut dicatat pada buku tanah HM yang bersangkutan dan sertifikatnya maupun daftar umum lainnya, sedangkan untuk HGB tersebut dibuatkan buku tanah dan sertifikat baru.
Lebih lanjut, terhadap HM yang belum bersertifikat dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja setelah diterimanya permohonan, Kepala Kantor Pertanahan menyelesaikan inventarisasi mengenai tanah tersebut dan membuat pengumuman. Selanjutnya dalam waktu 3 (tiga) hari kerja setelah waktu pengumuman dan tidak ada keberatan, Kepala Kantor Pertanahan mengeluarkan perintah setor uang dan dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah menyerahkan bukti penyetoran, perubahan hak dilaksanakan dengan pembuatan buku tanah dan sertifikat HGB
  • Hak Guna Bangunan (HGB),
pemindahan HGB dilaksanakan dengan Akta PPAT dan dicatat dalam buku tanah dan sertifikat maupun daftar umum lainnya. Dalam hal ini, izin lokasi berlaku sebagai izin pemindahan hak dan dimana perlu berlaku pula sebagai izin pengeluaran dari objek landreform dan izin atau fatwa lain yang menurut ketentuan yang berlaku diperlukan dalam pemindahan HGB atas tanah negara
  • Hak Guna Usaha (HGU)
Hak Pengelolaan (selanjutnya disebut dengan “HPL”) diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan antara lain:
  1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (“UU BPHTB”)
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah. (“PP No.40/1996”)
  3. Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 tentang Pelaksanaan Konversi Hak enguasaan Atas tanah Negara dan Ketentuan-Ketentuan tentang Kebijaksanaan Selanjutnya. (“Permenag No.9/1965”)
  4. Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan (“Permenag No.9/1999”).
Obyek HPL
Obyek dari HPL adalah tanah untuk pertanian dan tanah bukan untuk pertanian.
Subyek HPL
Berdasarkan Pasal 67 Permenag No. 9/1999, HPL dapat diberikan kepada pihak-pihak sebagai berikut:
  1.     instansi pemerintah termasuk Pemerintah Daerah;
  2.     Badan Usaha Milik Negara;
  3.     Badan Usaha Milik Daerah;
  4.     PT. Persero;
  5.     Badan Otorita;
  6.      badan-badan hukum Pemerintah lainnya yang ditunjuk Pemerintah.
Terjadinya HPL
HPL dapat terjadi karena 2 (dua) hal, yaitu:
  1. Konversi hak penguasaan sebagaimana dimaksud dalam Permenag No.9/1965.
  2. Pemberian hak atas tanah berasal dari tanah negara yang diberikan melalui permohonan, sebagaimana diatur dalam Permenag No.9/1999
Kewenangan Subyek HPL
Lebih lanjut Pasal 6 Permenag No. 9/1965 menjelaskan HPL memberikan wewenang kepada pemegangnya untuk:
  1.    merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah tersebut;
  2.    menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan tugasnya;
  3.    menyerahkan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dengan hak pakai yang berjangka waktu 6 (enam) tahun;
  4.    menerima uang pemasukan/ganti rugi dan/atau uang wajib tahunan.
Tata Cara Permohonan dan Pemberian HPL
Pasal 70 Permenag No. 9/1999 lebih lanjut menjelaskan terkait tata cara permohonan HPL yaitu permohonan diajukan secara tertulis kepada Menteri melalui Kepala Kantor Pertanahan yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan. Keputusan pemberian atau penolakan pemberian HPL akan disampaikan kepada pemohon melalui surat tercatat atau dengan cara lain yang menjamin sampainya keputusan tersebut kepada yang berhak.Jangka Waktu HPL HPL tidak mempunyai jangka waktu kepemilikan sehingga jangka waktu HPL adalah tidak terbatas.
Pemberian Hak Atas Tanah di Atas Bagian Tanah HPL
Berdasarkan PPNo. 40/ 1996 menyatakan bahwa di atas tanah HPL dapat diberikan atau dibebankan dengan hak-hak atas tanah yaitu Hak Guna Bangunan (“HGB”) dan Hak Pakai (“HP”). HGB atas tanah HPL dan HP atas tanah HPL diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuk berdasarkan usul pemegang HPL kepada calon pemegang HPL.
  • Hak Pakai (HP)
Pemberian Hak Pakai
Hak Pakai diberikan melalui keputusan Menteri atau pejabat berwenang. Hak Pakai suatu tanah Hak Pengelolaan diberikan melalui keputusan menteri atau pejabat berwenang dengan usulan dari pemegang hak pengelolaan. Hal ini berlaku untuk tanah negara. Sedangkan untuk tanah Hak Milik, maka Hak Pakai diberikan melalui perjanjian kedua pihak.
Jangka Waktu Hak Pakai
Hak Pakai dapat diberikan maksimal 25 (dua puluh lima) tahun dan dapat diperpanjang selama maksimal 20 (dua puluh) tahun. Pembaharuan juga dapat diberikan setelah Hak Pakai dan perpanjangannya berakhir. Hak Pakai dari tanah negara dapat diperpanjang dan diperbaharui bila tanahnya masih dalam kondisi baik, pemegang hak memenuhi persyaratan menjadi subjek Hak Pakai. Hak Pakai sebuah tanah pengelolaaan dapat diperpanjang dan diperbaharui dengan adanya usul dari pemegang hak pengelolaan. Hak Pakai dari tanah hak milik hanya dapat diberikan untuk 25 (dua puluh lima) tahun dan tidak dapat diperpanjang.
Pengalihan dan Penghapusan Hak Pakai
Pengalihan Hak Pakai dari sebuah tanah negara hanya dapat dilakukan setelah keputusan menteri atau pejabat berwenang. Untuk sebuah tanah Hak Milik, maka Hak Pakai hanya dapat dialihkan bila hal tersebut diperjanjikan. Pengalihan hanya dapat terjadi karena jual beli, tukar menukar, penyertaan dalam modal, hibah, pewarisan.
  • Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun (HMASRS).
Hak Tanggungan hapus karena alasan-alasan sebagai berikut:
  1. hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan;
  2. dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan;
  3. pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri;
  4. hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.
Setelah Hak Tanggungan hapus, Kantor Pertanahan mencoret catatan Hak Tanggungan tersebut pada buku hak atas tanah dan sertipikatnya. Dengan hapusnya Hak Tanggungan, sertipikat Hak Tanggungan yang bersangkutan dicabut bersama-sama buku-tanah Hak Tanggungan serta dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Kantor Pertanahan.
Ciri dan Sifat Hak Tanggungan
Sebagai jaminan untuk suatu pemenuhan kewajiban debitur kepada Bank, Hak Tanggungan mempunyai ciri dan sifat khusus.
  1. Hak Tanggungan bersifat memberikan Hak Preference (droit de prefence) atau kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu dari pada kreditur lainnya.
  2. Hak tanggungan mengikuti tempat benda berada (droit de suite). Ini merupakan salah satu kekuatan lain hak tanggungan. Jadi walaupun tanah yang dibebani dengan Hak Tanggungan tersebut dialihkan kepada pihak atau orang lain (dalam hal ini misalnya dijual), Hak Tanggungan tersebut tetap melekat pada tanah tersebut, sepanjang belum dihapuskan dalam praktiknya sering juga disebut dengan istilah dilakukan “Roya” oleh pemegang hak tanggungan.
  3. Hak Tanggungan tidak dapat dibagi-bagi, kecuali telah diperjanjikan sebelumnya. Hak tanggungan yang melekat pada suatu jaminan berupa tanah dan bangunan, tidak dapat ditetapkan hanya melekat disebagian bidang tanah atau rumah tersebut. Namun dapat pula diperjanjikan bahwa Hak Tanggungan yang membebani beberapa bidang tanah, dapat dihapuskan secara sebagian-sebagian, sesuai dengan proporsi pelunasan fasilitas pembiayaan yang dilakukan oleh debitur.
  4. Hak Tanggungan dapat digunakan untuk menjamin utang yang sudah ada atau yang akan ada.
    Jika utang yang sudah ada, tentunya sudah jelas, tetapi untuk utang yang akan ada seperti apa? Yang dimaksud dengan utang yang akan ada adalah utang yang pada       saat dibuat dan ditandatangani Akta Pemberian Hak Tanggungan tersebut belum ditetapkan jumlah ataupun bentuknya. Dalam setiap APHT disebutkan bahwa debitur punya sejumlah utang tertentu, yang dituliskan’……..yang dibuktikan dengan akta perjanjian kredit tertanggal (hh-bb-tt), Nomor xxx, yang dibuat dihadapan xxxx, Notaris di xxx berikut perubahannya dan/atau penambahannya…..’Misalnya, pada saat akta tersebut dibuat jumlah utang debitur masih sebesar Rp 100.000.000,- (Seratus Juta Rupiah). Kemudian karena nilai Hak Tanggungan yang  dipasang masih cukup untuk penambahan Plafon Kredit, pada saat debitur memperoleh tambahan kredit sebesar Rp. 50.000.000,- (Lima Puluh Juta Rupiah) dia tidak dibebani dengan Hak Tanggungan baru. Hanya cukup menunjuk kepada jaminan yang sudah pernah diberikan oleh debitur dengan nilai utang yang dijaminnya bertambah menjadi Rp. 150.000.000,- (Seratus Lima Puluh Juta Rupiah).
  5. Hak Tanggungan memiliki kekuatan eksekutorial.
    Sertifikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekusi tanpa melalui putusan pengadilan melalui penjualan di muka umum. Namun demikian, hal yang menarik dalam praktiknya adalah pada saat pemilik jaminan melakukan penawaran atas upaya kreditur untuk melelang tanah dan bangunan yang dijaminkan, kreditur masih   tetap membutuhkan bantuan pengadilan untuk mengeksekusi jaminan yang sudah dibebani Hak Tanggungan.
  6. Hak Tanggungan memiliki sifat spesialitas dan publisitas.
    Sifat spesialitas dan publisitas yang menyebabkan timbulnya hak Preference kreditur. Dalam hal terjadi peristiwa kepailitan debitur, Hak Preference kreditur tersebut tidak     hilang dan menjadi separatis. Artinya, kreditur punya hak terpisah atas obyek yang dibebani Hak Tanggungan tersebut. Oleh karena itu kreditur berhak mendapatkan pelunasan utang terlebih dahulu dari hasil penjualan tanah atau bangunan sebagai   jaminan. Dengan adanya publisitas tersebut pihak ketiga (Siapa pun) bisa mengecek status tanah tersebut melalui kantor pertanahan setempat. Tujannya menghindari terjadinya suatu transaksi peralihan hak atas tanah dimaksud tanpa persetujuan dari kreditur selaku pemegang Hak Tanggungan.
Perbedaan objek Hak Tanggungan dan HIpotek :
Objek hak tanggungan adalah hak atas tanah dam neliputi benda yang melekat dengan tanah yang meliputi hak milik, HGU, HGB, hak pakai baik hak milik maupun hak atas Negara dan hak atas tanah berikut bangunan , tanaman, hasil karya  yang merupakan satu kesatuan dengan tanah
Sedangkan objek hipotik hak atas tanah, meliputi hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunansaja,  tetapi semenjak berlakunya UU No. 4 Tahun1996 tentang hak tanggungan . maka hak hipotik atas tanah tidak berlaku lagi

Share this

0 Comment to "MAKALAH HAK TANGGUNGAN"

Post a Comment