Sunday, December 27, 2015

MAKALAH GADAI


MAKALAH GADAI



GADAI

PENGERTIAN GADAI
Gadai dalam bahasa Arab dikenal dengan sebutan Rahn. Kata rahn itu sendiri secara etimologis berarti tanggung jawab, sebagaimana yang difirmankan Allah Azza wa Jalla
“Tiap-tiap diri itu bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya. ” (Al-Mudatsir: 38)
Demikian juga sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Jiwa seorang mukmin itu tergantung pada hutangnya sehingga dilunasi. ” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, Baihaqi, Hakim. Hakim mengatakan, dengan syarat Bukhari dan Muslim)
Sedangkan menurut syari’at, rahn berarti menilai suatu barang dengan harga tertentu atas suatu hutang, yang dimungkinkan pembayaran hutang itu dengan mengambil sebagian dari barang tersebut.[1]
Badrul Zaman, 1991.
Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berhutang atau oleh seorang lain atas namanya dan yang memberikan kekuasaan kepada si piutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan dari pada orang-orang berpiutang lainnya dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana yang harus didahulukan.[2]
Istilah gadai berasal dari terjemahan dari kata pand (bahasa Belanda) atau pledge atau pawn (bahasa Inggris). Pengertian gadai tercantum dalam Pasal 1150 KUH Perdata. Menurut Pasal 1150 KUH Perdata, gadai adalah :
“ Suatu hak yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak yang diserahkan kepadanya oleh debitur atau oleh kuasanya, sebagai jaminan atas utangnya dan yang memberi wewenang kepada kreditur untuk mengambil pelunasan piutangnya dari barang itu dengan mendahului kreditur-kreditur lain, dengan pengecualian biaya penjualan sebagai pelaksanaan putusan atas tuntutan mengenai pemilikan atau penguasaan dan biaya penyelamatan barang itu, yang dikeluarkan setelah barang itu diserahkan sebagai gadai yang harus didahulukan”.[3]
SIFAT-SIFAT UMUM GADAI
  • Gadai adalah untuk benda bergerak Artinya obyek gadai adalah benda bergerak baik berwujud maupun tidak berwujud (hak tagihan).
  • Sifat kebendaan. Artinya memberikan jaminan bagi pemegang gadai bahwa dikemudian hari piutangnya pasti dibayar dari nilai barang jaminan.
  • Benda gadai dikuasai oleh pemegang gadai. Artinya benda gadai harus diserahkan oleh pemberi gadai kepada pemegang gadai.
  • Hak menjual sendiri benda gadai. Artinya hak untuk menjual sendiri benda gadai oleh pemegang gadai.
  • Hak yang didahulukan
  • Hak accessoir. Artinya hak gadai tergantung pada perjanjian pokok. [4]
DASAR HUKUM GADAI
Dasar Hukum gadai dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan berikut ini :
  1. Pasal 1150 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1160 Buku II KUH Perdata;
  2. Artikel 1196 vv, titel 19 Buku III NBW;
  3. Peraturan Pemerintah Nomor : 7 tahun 1969 tentang Perusahaan Jawatan Pegadaian;
  4. Peraturan Pemerintah Nomor : 10 tahun 1970 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor : 7 tahun 1969 tentang Perusahaan Jawatan; dan
  5. Peraturan Pemerintah Nomor : 103 tahun 2000 tentang Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian[5]
HUKUM GADAI MENURUT ISLAM
Sebagaimana halnya dengan jual beli, gadai diperbolehkan, karena segala sesuatu yang boleh dijual boleh juga digadaikan. Dalil yang melandasinya telah ditetapkan dalam Al-Qur’an, Al-Sunnah dan ijma’.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah befirman:
“Dan jika kalian dalam perjalanan (dan bermu ’amalah tidak secara tunai) sedang kalian tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tangggungan yang dipegang. ” (Al-Baqarah: 283)
Ayat tersebut di atas bermakna bahwa Allah Subahanahu wa Ta’ala memerintahkan orang yang melakukan suatu transaksi dengan orang lain, sedang bersamanya tidak ada juru tulis, maka hendaklah dia memberikan suatu
barang sebagai jaminan (gadai) kepada orang yang memberikan hutang kepadanya supaya merasa tenang dalam melepaskan uangnya tersebut. Selanjutnya hendaklah peminjam menjaga uang atau barang-barang hutangan itu agar tidak hilang atau dihamburkan tanpa ada manfaat.
Sedangkan dalam hadits lain disebutkan,
“Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallampernah menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi, (bernama Abu Syahm) dengan tiga puluh sha’ gandum untuk keluarganya. ” (Muttafaqun ‘Alaih)
Dalam hadits di atas terdapat pengertian yang membolehkan mu’amalah dengan ahlul kitab.
Dan para ulama telah melakukan ijma’ yang membolehkan gadai.[6]
OBJEK HUKUM GADAI
Apabila ketentuan dalam Pasal 1150 KUH Perdata dihubungkan dengan ketentuan dalam Pasal 1152 ayat (1), Pasal 1152, Pasal 1153 dan Pasal 1158 ayat (1) KUH Perdata, jelas pada dasarnya semua kebendaan bergerak dapat menjadi objek hukum hak gadai sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor : 4/248/UPPK/PK tanggal 16 Maret 1972. Namun menurut Surat Edaran tersebut tidak semua jenis kebendaan bergerak dapat dibebani dengan gadai, terdapat jenis kebendaan bergerak lainnya yang dibebani dengan jaminan fidusia.
Kebendaan bergerak disini dapat kebendaan bergerak yang berwujud atau bertubuh (lichamelijk) dan kebendaan bergerak yang tidak berwujud atau bertubuh (onlichamelijk) berupa piutang atau tagihan-tagihan dalam bentuk surat berharga.[7]
Dewasa ini lembaga gadai masih berjalan terutama pada lembaga pegadaian. Dalam perjanjian kredit perbankan, lembaga gadai tidak begitu popular, sudah jarang ditemukan bagi benda berwujud. Akan tetapi penggunaan gadai bagi benda tidak berwujud seperti surat-surat berharga dan saham-saham mulai banyak digunakan pada beberapa bank. Peningkatan penjaminan saham terjadi seiring dengan pesatnya perkembangan bursa saham di Indonesia. Didalam praktik sering terjadi penjaminan saham yang belum dicetak (not printed) dan yang menjadi bukti yang disimpan oleh pihak bank itu bukti penjaminan sejumlah saham yang berupa resipis atau surat pemerimaan atau kuitansi saja (Djuhaendah Hasan, 1996:283).
Pada dasarnya semua kebendaan bergerak yang berwujud dapat dijadikan sebagai jaminan pinjaman atau kredit gadai pada lembaga pegadaian. Kredit gadai adalah pemberian pinjaman (kredit) dalam jangka waktu tertentu kepada nasabah atas dasar hukum gadai dan persyaratan tertentu yang telah ditetapkan oleh perusahaan Pegadaian.
SUBYEK HUKUM GADAI
Subjek gadai terdiri atas dua pihak, yaitu pemberi gadai (pandgever) dan penerima gadai (pandnemer). Pandgever adalah orang atau badan hukum yang memberikan jaminan dalam bentuk benda bergerak selaku gadai kepada penerima gadai untuk pinjaman uang yang diberikan kepadanya atau pihak ketiga. Unsur-unsur pemberi gadai adalah :
  1. Orang atau badan hukum;
  2. Memberikan jaminan berupa benda bergerak;
  3. Kepada penerima gadai;
  4. Adanya pinjaman uang;
Penerima gadai (pandnemer) adalah orang atau badan hukum yang menerima gadai sebagai jaminan untuk pinjaman uang yang diberikannya kepada pemberi gadai (pandgever). Di Indonesia, badan hukum yang ditunjuk untuk mengelola lembaga gadai adalah perusahaan pegadaian. Perusahaan ini didirikan berdasarkan :
  1. Peraturan Pemerintah Nomor : 7 tahun 1969 tentang Perusahaan Jawatan Pegadaian;
  2. Peraturan Pemerintah Nomor : 10 tahun 1970 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor : 7 tahun 1969 tentang Perusahaan Jawatan; dan
  3. Peraturan Pemerintah Nomor : 103 tahun 2000 tentang Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian.[8]
Sifat usaha dari perusahaan pegadaian ini adalah menyediakan pelayanan bagi kemanfaatan umum dan sekaligus memupuk keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan. Maksud dan tujuan perum ini adalah :
  1. Turut meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terutama golongan ekonomi lemah kebawah melalui penyediaan dana atas dasar hukum gadai dan jasa dibidang keuangan lainnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
  2. Menghindarkan masyarakat dari gadai gelap, praktik riba dan pinjaman tidak wajar lainnya (Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor : 103 tahun 2000 tentang Perusahaan Umum Pegadaian.
Usaha yang paling menonjol dilakukan oleh Perum Pegadaian adalah menyalurkan uang (kredit) berdasarkan hukum gadai. Artinya bahwa barang yang digadaikan itu harus diserahkan oleh pemberi gadai kepada penerima gadai, sehingga barang-barang itu berada dibawah kekuasaan penerima gadai. Asas ini disebut dengan asas inbezitzeteling.[9]
BARANG YANG DAPAT DIGADAI
Badrul Zaman, 1991.
Barang yang dapat digadaikan yaitu semua barang bergerak seperti barang-barang perhiasan, elektronik, peralatan rumah tangga, mesin, tekstil, dll. Barang yang tidak dapat digadaikan seperti barang milik pemerintah, surat-surat berharga, hewan dan tanaman, bahan makanan dan benda yang mudah busuk, benda-benda yang kotor, benda-benda yang untuk menguasai dan memindahkan dari satu tempat ke tempat lain memerlukan izin, barang yang karena ukurannya yang besar maka tidak dapat disimpan digadaian, barang yang tidak tetap harganya.
RUKUN GADAI
Gadai mempunyai tiga rukun, yaitu:
Pertama, akad yang dilakukan oleh kedua belah pihak, yaitu pemilik uang dengan orang yang berhutang yang menyerahkan suatu jaminan atas pinjamannya.
Kedua, ada objek (barang) yang digadai, yaitu pinjaman dan barang yang digadaikan.
Ketiga, shighah.
Menurut para penganut Imam Hanafi, suatu gadai mempunyai satu rukun, yaitu ijab dan qabul, karena keduanya itulah yang merupakan akad sebenarnya.[10]
HAK DAN KEWAJIBAN PEMEGANG GADAI
Badrul Zaman, 1991.
  • Hak pemegang gadai. Menjual gadai dengan kekuasaan sendiri dan atau dengan perantara hakim, atas izin hakim tetap menguasai benda gadai, mendapat ganti rugi, retorsi dan hak undang-undang untuk didahulukan.
  • Kewajiban pemegang gadai. Bertanggung jawab atas kehilangan atau kerusakan barang gadai karena kelalaiannya, memberitahukan kepada pemberi gadai apabila barang gadai itu di jual dan bertanggung jawab terhadap hasil penjualan barang gadai tersebut.[11]
Kewajiban penerima gadai diatur dalam pasal 1154, 1156, d    an 1157 KUH Perd.:
  1. menjaga barang yang digadaikan sebaik–baiknya;
  2. tidak diperkenalkan mengalihkan barang yang digadaikan menjadi miliknya, walaupun pemberigadai wanprestasi (Pasal 1154 KUH Perd.);
  3. memberitahukan kepada pemberi gadai tentang pemindahan barang–barang gadai (Pasal 1156 KUH Perd.);
  4. bertanggung jawab atas kerugian atau susutnya barang gadai, sejauh hal itu terjadi akibat kelalaiannya (Pasal 1157 KUH Perd.).
HAK DAN KWAJIBAN PEMBERI GADAI
  1. menerima uang gadai dari penerima gadai;
  2. berhak atas barang gadai, apabila hutang pokok, bunga dan biaya lainnya telah dilunasinya;
  3. berhak menuntut kepada pengadilan supaya barang gadai dijual untuk melunasi hutang–hutangnya(Pasal 1156 KUH Perd.).
  4. menyerahkan barang gadai kepada penerima gadai;
  5. membayar pokok dan sewa modal kepada penerima gadai;
  6. membayar biaya yang dikeluarkan oleh penerima gadai untuk menyelamatkan barang–barang gadai (Pasal 1157 KUH Perd.).
HAPUSNYA HAK GADAI :
1) Hapusnya perjanjian pokok yang dijamin dengan gadai
2) Terlepasnya benda gadai dari kekuasaan penerima gadai
3) Musnahnya barang gadai
4) Dilepaskannya benda gadai secara sukarela
5) Percampuran (penerima gadai menjadi pemilik benda gadai)
EKSEKUSI DAN HAPUSNYA JAMINAN GADAI
Pada dasarnya eksekusi barang jaminan gadai dilakukan dengan cara penjualan dimuka umum melalui pelelangan dengan meminta bantuan kantor / badan lelang. Namun berdasarkan parate eksekusi (parate executie), maka kreditor / pemegang gadai mempunyai wewenang penuh tanpa melalui pengadilan untuk mengeksekusi barang jaminan. Hal ini dapat dilakukan bilamana sebelumnya hal tersebut sudah diperjanjikan. Seperti yang dikatakan dalam ketentuan Pasal 1155 ayat 1 KUHPerdata antara lain menyatakan, bahwa ……. Setelah dilakukannya suatu peringatan untuk membayar, menyuruh menjual barang gadainya dimuka umum menurut kebiasaan-kebiasaan setempat …..
Selain itu, penjualan barang jaminan gadai juga dapat dilakukan secara tertutup atau tidak dilakukan penjualan dimuka umum melalui pelelangan.
KUHPerdata tidak mengatur secara khusus mengenai sebab-sebab hapus atau berakhirnya gadai. Namun demikian dari bunyi ketentuan dalam pasal-pasal KUHPerdata yang mengatur mengenai lembaga hak jaminan gadai sebagaimana diatur dalam pasal 1150 sampai dengan pasal 1160 KUHPerdata, kita dapat mengetahui sebab-sebab yang menjadi dasar bagi hapusnya hak gadai yaitu :
  1. Hapusnya perjanjian pokok yang dikarenakan pelunasan utang, perjumpaan utang (kompensasi), pembaruan utang (novasi), atau pembebasan utang;
  2. Lepasnya benda yang digadaikan dari penguasaan kreditor pemegang hak gadai, dikarenakan terlepasnya benda yang digadaikan dari penguasaan kreditor pemegang gadai, dilepaskannya benda gadai secara sukarela oleh pemegangnya atau hapusnya benda yang digadaikan;
  3. Terjadinya percampuran, dimana pemegang gadai sekaligus juga menjadi pemilik barang yang digadaikan, dan;
  4. Terjadinya penyalahgunaan barang gadai oleh kreditur pemegang gadai[12]
PERBEDAAN GADAI DAN HIPOTIK
  1. Gadai harus disertai dengan pernyataan kekuasaan atas barang yang digadaikan, sedangkan hipotik tidak.
2 Gadai hapus jika barang yang digadaikan berpindah tangan ke orang lain, sedangkan hipotik tidak, tetapi teap mengikuti bendanya walaupun bendanya dipindahtangankan ke orang lain.
  1. Satu barang tidak pernah dibebani lebih dari satu gadai walaupun tidak dilarang, tetapi beberapa hipotik yang bersama-sama dibebankan diatas satu benda adalah sudah merupakan keadaan biasa.
  2. Adanya gadai dapat dibuktikan dengan segala macam pembuktian yang dapat dipakai untuk membuktikan perjanjian pokok sedangkan adanya perjanjian hipotik dibuktikan dengan akta otentik

Share this

0 Comment to "MAKALAH GADAI"

Post a Comment