Sunday, December 27, 2015

MAKALAH HUKUM JAMINAN HAK TANGGUNGAN



MAKALAH HUKUM JAMINAN HAK TANGGUNGAN



UUNomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) sebagai induk peraturan perundangundang tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan tanah, tidak mengatur secara tegas tentang Hak Tanggungan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 51 UUPA dinyatakan bahwa :
“Hak Tanggungan yang dapat dibebankan pada Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan sebagaimana diatur dalam Pasal 25, 33 dan 39 diatur dengan undang-undang”.
Selanjutnya ketentuan Pasal 1 angka 1 UUHT pengertian Hak Tanggungan adalah:
“Hak Tanggungan adalah hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang selanjunya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah yang sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah-tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan
kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lainnya”
Denganlahirnya UndangUndang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan diharapkan akan memberikan suatu kepastian hukum tentang pengikatan jaminan dengan
 tanah berserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut sebagai jaminan yang pengaturannya selama ini menggunakan ketentuan-ketentuan Hypotheek dalam Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Hak Tanggungan yang diatur dalam UUHT pada dasarnya adalah hak tanggungan yang dibebankan pada hak atas tanah. Namun, pada kenyataannya seringkali terdapat benda-benda berupa bangunan, tanaman dan hasil karya yang secara tetap merupakan satu kesatuan dengan tanah yang dijadikan jaminan turut pula dijaminkan. Sebagaimana diketahui bahwa Hukum Tanah Nasional didasarkan pada hukum adat, yang menggunakan asas pemisahan Horizontal, yang menjelaskan bahwa setiap perbuatan hukum mengenai hak-hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi benda-benda tersebut. Penerapan asas tersebut tidak mutlak, melainkan selalu menyesuaikan dan memperhatikan dengan perkembangan kenyataan dan kebutuhan dalam masyarakat. Sehingga atas dasar itu UUHT memungkinkan dilakukan pembebanan Hak Tanggungan yang meliputi benda-benda diatasnya sepanjang benda-benda tersebut merupakan satu kesatuan dengan tanah bersangkutan dan ikut dijadikan jaminan yang dinyatakan secara tegas dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT). Menurut Purwahid Patrik, dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan disebutkan bahwa Hak Tanggungan sebagai lembaga jaminan atas tanah yang kuat harus mengandung ciri-ciri :
1. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada pemegangnya (droit de preference), hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 20 ayat (1); Apabila debitor cidera janji (wanprestasi), maka kreditor pemegang hak tanggungan berhak menjual tanah yang dibebani Hak Tanggungan tersebut melalui pelelangan umum dengan hak mendahului dari kreditor yang lain.
2. Selalu mengikuti obyek yang dijaminkan dalam tangan siapapun obyek itu berada (droit de suite), hal ini ditegaskan dalam Pasal 7; Sifat ini merupakan salah satu jaminan khusus bagi kepentingan pemegang Hak Tanggungan. Meskipun obyek Hak Tanggungan telah berpindah tangan dan mejadi milik pihak lain, namun kreditor masih tetap dapat menggunakan haknya untuk melakukan eksekusi apabila debitor cidera janji (wanprestasi).
3. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya, hal ini diatur dalam Pasal 6. Apabila debitor cidera janji (wanprestasi), maka kreditor tidak perlu menempuh acara gugatan perdata biasa yang memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Kreditor pemegang Hak Tanggungan dapat menggunakan haknya untuk menjual obyek hak tanggungan melalui pelelangan umum. Selain melalui pelelangan umum berdasarkan Pasal 6, eksekusi obyek hak tanggungan juga dapat dilakukan dengan cara “parate executie” sebagaimana diatur dalam Pasal 224 HIR dan Pasal 158 RBg bahkan dalam hal tertentu penjualan dapat dilakukan dibawah tangan.
Hak Tanggungan membebani secara utuh obyek Hak Tanggungan dan setiap bagian darinya. Dengan telah dilunasinya sebagian dari hutang yang dijamin hak tanggungan tidak berarti terbebasnya sebagian obyek hak tanggungan beban hak tanggungan, melainkan hak tanggungan tersebut tetap membebani seluruh obyek hak tanggungan untuk sisa hutang yang belum terlunasi. Dengan demikian, pelunasan sebagian hutang debitor tidak menyebabkan terbebasnya sebagian obyek hak tanggungan. Menurut ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan dijelaskan bahwa hak tanggungan bersifat tidak dapat dibagibagi (ondeelbaarheid). Sifat tidak dapat dibagi-bagi ini dapat disimpangi asalkan hal tersebut telah diperjanjikan terlebih dahulu dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT). Sehingga, hak tanggungan hanya membebani sisa dari obyek hak tanggungan untuk menjamin sisa hutang yang belum dilunasi asalkan hak tanggungan tersebut dibebankan kepada beberapa hak atas tanah yang terdiri dari beberapa bagian yang masingmasing merupakan suatu kesatuan yang berdiri sendiri dan dapat dinilai secara tersendiri.
<> A. Pembebanan Hak Milik dengan Hak Tanggungan
Menurut pasal 25 UUPA, Hak Milik atas tanah dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan. Yang dimaksud dengan hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam undang-undang no.5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok Agraria ( UUPA ) , berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu thdp kreditor lain (Pasal 1 angka 1 UU No.4 Tahun 1996).
Syarat sah terjadinya hak tanggungan, yaitu :
1. Adanya perjanjian utang piutang sebagai perjanjian pokoknya.
2. Adanya akta pemberian hak tanggungan sebagai perjanjian ikutan (tambahan).
3. Adanya pendaftaran Akta pemberian hak tanggungan.
B. Pembebanan Hak Guna Usaha dengan Hak tanggungan
Hak Guna Usaha dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan (Pasal 33 UUPA jo. Pasal 15 PP No.40 Tahun 1996).Prosedur hak tanggungan atas HGU, yaitu:
1. Adanya perjanjian utang piutang yang dibuat dengan Akta Notariil / Akta dibawah tangan sebagai perjanjian pokoknya.
2. Adanya penyerahan HGU sebagai jaminan utang yang dibuktikan dengan akta pemberian hak tanggungan yang dibuat oleh PPAT sebagai perjanjian ikutan.
3. Adanya pendaftaran Akta pemberian hak tanggungan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten / Kota setempat untuk dicatat dalam buku tanah dan diterbitkan sertifikat hak tanggungan.
      C. Pembebanan Hak Guna Bangunan dengan Hak Tanggungan
Hak Guna Bangunan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan (Pasal 39 UUPA jo. Pasal 33 PP No.40 Tahun 1996).Prosedur Hak Guna Bangunan, yaitu :
1. Adanya perjanjian utang piutang yang dibuat dengan Akta Notariil / Akta dibawah tangan sebagai perjanjian pokoknya.
2. Adanya penyerahan HGB sebagai jaminan utang yang dibuktikan dengan akta pemberian hak tanggungan yang dibuat oleh PPAT sebagai perjanjian ikutan.
 3. Adanya pendaftaran Akta pemberian hak tanggungan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten / Kota setempat untuk dicatat dalam buku tanah dan diterbitkan sertifikat hak
          tanggungan.
      D. Pembebanan Hak Pakai dengan Hak Tanggungan
UUPA tidak mengatur bahwa HP dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani dengan hak tanggungan. Pembebanan HP dengan hak tanggungan diatur dalam Pasal 53 PP no.40 Tahun 1996 yaitu, HP atas tanah negara dan HP atas tanah pengelolaan dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggunan, sedangkan HP atas tanah hak milik tdk dapat dijadikan hutang dengan dibebani hak tanggungan. Prosedur pembebanan hak tanggungan atas HP atas tanah negara yang menurut ketentuannya wajib didaftarkan dan menurut sifatnya dapat dipindahkan, sebagai berikut  :
1. Adanya perjanjian utang piutang yang dibuat dengan Akta Notariil / Akta dibawah tangan sebagai perjanjian pokoknya.
2. Adanya penyerahan Hak pakai sebagai jaminan utang yang dibuktikan dengan akta pemberian hak tanggungan yang dibuat oleh PPAT sebagai perjanjian ikutan.
3. Adanya pendaftaran Akta pemberian hak tanggungan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten / Kota setempat untuk dicatat dalam buku tanah dan diterbitkan sertifikat hak tanggungan.
Asas-asas hak tanggungan
<> 1. Hak Tanggungan Memberikan Kedudukan Hak Yang Diutamakan
Asas ini menyebutkan bahwa pemegang hak tanggungan diberikan kedudukan yang diutamakan terhadap kreditur lainnya.  Yang dimaksudkan dengan memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor lain, adalah : “Bahwa jika debitor cidera janji, maka kreditor pemegang Hak Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada kreditor-kreditor yang lain”. Jadi hak mendahulukan dimaksudkan adalah bahwa kreditor pemegang Hak Tanggungan didahulukan dalam mengambil pelunasan atas hasil penjualan eksekusi obyek Hak Tanggungan. Kedudukan diutamakan tersebut sudah barang tentu tidak mengurangi preferensi piutang-piutang Negara menurut ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku.
2. Hak Tanggungan Tidak Dapat Dibagi-Bagi
Hak Tanggungan memiliki sifat yang tidak dapat dipungkiri yakni Pertama Tidak dapat dibagi-bagi (ondeelbaar), berarti Hak Tanggungan membebani secara utuh obyeknya dan setiap bagian daripadanya. Pelunasan sebagian utang yang dijamin tidak membebaskan sebagian obyek dari beban Hak Tanggungan, tetapi Hak Tanggungan tetap membebani seluruh obyeknya untuk sisa utang yang belum dilunasi.
Hak Tanggungan memiliki sifat yang tidak dapat dibagi-bagi, hal ini sesuaiketentuan dalam Pasal 2 UU Nomor 4 Tahun 1996, dinyatakan bahwa:
Hak Tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi, kecuali  jika diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) Apabila hak tanggungan dibebankan pada beberapa hak atas tanah, dapat diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan, bahwa pelunasan utang yang dijamin dapat dilakukan dengan cara angsuran yang besarnya sama dengan nilai masing-masing hak atas tanahyang merupakan bagian dari objek Hak Tanggungan, yang akan dibebankan dari Hak Tanggungan tersebut, sehingga kemudian Hak Tanggungan itu hanya membebani sisa objek Hak Tanggungan untuk menjamin sisa utang yang belum dilunasi.
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 UU Nomor 4 Tahun 1996 di atas, dalam penjelasannya dinyatakan bahwa:
Yang dimaksud dengan sifat tidak dapat dibagi-bagi dari Hak Tanggungan adalah bahwa Hak Tanggungan membebani secarautuh objek Hak Tanggungan dan setiap bagian daripadanya, dilunasinya sebagian dari utang yang dijamin tidak berarti  terbebasnya sebagian objek Hak Tanggungan dari beban Hak Tanggungan untuk sisa utang yang belum dilunasi.
3. Hak Tanggungan Hanya Dibebankan Pada Hak Atas Tanah Yang Telah Ada
Secara yuridis formal asas yang menyatakan bahwa Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan pada hak atas tanah yang telah ada diatur dalam : Pasal 8 ayat (2) dinyatakan bahwa kewenangan untuk melakukan perbuatan hukumterhadap objek Hak Tanggungan harus ada pada pemberi Hak Tanggunganpada saat pendaftaran Hak Tanggungan. Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan pada hak atas tanah yang telah dimiliki oleh pemegang Hak Tanggungan. Oleh karena itu, hak atas tanah yang baru akan dipunyai oleh seseorang di kemudian hari tidak dapat dijaminkan dengan Hak Tanggungan bagi pelunasansuatu utang. Begitu juga tidaklah mungkin untuk membebankan Hak Tanggungan pada suatu hak atas tanah yang baru akan ada di kemudian hari. Asas,ini juga merupakan asas yang sebelumnya sudah dikenal di dalamhipotek. Menurut Pasal 1175 KUH Perdata, hipotek hanya dapat dibebankan atas benda-benda yang sudah ada. Hipotek atas benda-benda baru akan ada di kemudian hari adalah batal.
4. Hak Tanggungan Dapat Dibebankan Selain Atas Tanahnya Juga benda-Benda  Yang Berkaitan Dengan Tanah Tersebut
Dalam kenyataannya Hak Tanggungan dapat dibebankan bukan saja padatanahnya, tetapi juga segala benda yang mempunyai keterkaitan dengan tanah tersebut. Hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 4 ayat (4) UU Nomor 4 Tahun 1996, dinyatakan:
Hak Tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dinyatakan di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (4) di atas, dapat disimpulkan bahwayang dapat dijadikan jaminan selain benda-benda yang berkaitan dengan tanah, juga benda-benda yang bukan dimiliki oleh pemegang hak atas tanah tersebut.
5. Hak Tanggungan Dapat Dibebankan Juga Atas Benda-Benda Yangberkaitan Dengan Tanah Yang Baru Akan Ada Di Kemudian Hari
 Meskipun Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan atas tanah yang telah ada, sepanjang Hak Tanggungan itu dibebankan pula atas benda-benda yang berkaitan dengan tanah, ternyata pada Pasal 4 ayat (4) memungkinkan Hak Tanggungan dapat dibebankan pula atas benda-benda yang berkaitandengan tanah tersebut, sekalipun benda-benda tersebut belum ada, tetapi baru akan ada di kemudian hari.
lebih jauh St. Remy Sjandeini mengatakan bahwa dalam pengertian “yangbaru akan ada” ialah benda-benda yang pada saat Hak Tanggungan dibebankan belum ada sebagai bagian dari tanah (hak atas tanah) yangdibebani Hak Tanggungan tersebut. Misalnya karena benda-benda tersebut baru ditanam (untuk tanaman) atau baru dibangun (untuk bangunan dan hasil karya) kemudian setelah Hak Tanggungan itu dibebankan atas tanah(hak atas tanah) tersebut. Sejalan dengan asas yang berlaku di dalam Hak Tanggungan di atas, dalamkenyataannya hal tersebut sama dengan ketentuan dalam Pasal 1165 KUH IPerdata bahwa setiap hipotek meliputi juga segala apa yang menjadi satudengan benda itu karena pertumbuhan atau pembangunan. Dengan katalain, tanpa harus diperjanjikan terlebih dahulu, segala benda yang berkaitandengan tanah yang baru akan ada di kemudian hari demi hukum terbebanipula dengan hipotek
6. Perjanjian Hak Tanggungan Adalah Perjanjian Accesoir
Hak Tanggungan hanya merupakan ikatan (“accessoir”) dari perjanjian pokok, yaitu perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum utang piutang. Keberadaan, berakhir dan hapusnya Hak Tanggungan dengan sendirinya tergantung pada utang yang dijamin pelunasannya tersebut.
Perjanjian Hak Tanggungan bukanlah merupakan perjanjian yang berdiri sendiri, akan tetapi mengikuti perjanjian yang terjadi sebelumnya yangdisebut perjanjian induk. Perjanjian induk yang terdapat pada Hak Tanggungan adalah perjanjian utang-piutang yang menimbulkan utang yang dijamin. Perjanjian yang mengikuti perjanjian induk ini dalam terminologi hukum. Belanda disebut perjanjian accessoir Penegasan terhadap asas accesoir ini, dijelaskan dalam poin 8 penjelasanUU Nomor 4 Tahun 1996 yang menyatakan bahwa:
Oleh karena Hak Tanggungan menurut sifatnya merupakan ikutanatau accessoir pada suatu piutang tertentu, yang didasarkan padasuatu perjanjian utang-piutang atau perjanjian lain, maka kelahirandan keberadaannya ditentukan oleh adanya piutang yang dijamin pelunasannya.
Selain penegasan yang termuat dalam penjelasan umum poin 8 di atas,secara tegas diatur dalam Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 18 ayat (1) UUNomor 4 ‘Tahun 1996. Dalam Pasal 10 ayat (1) dinyatakan bahwa perjanjianuntuk memberikan Hak Tanggungan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian Utang-piutang yang bersangkutan, sedangkan Pasal 18 ayat (1) huruf a menyatakan bahwa Hak Tanggungan hapus karena hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan.
 7. HAK TANGGUNGAN DAPAT DIJADIKAN JAMINAN UNTUK UTANG YANG AKAN ADA
 Salah satu keistimewaan dari Hak Tanggungan adalah diperbolehkannya menjaminkan utang yang akan ada. Hal ini sesuai ketentuan dalam
Pasal 3ayat (1) UUHT yang menyatakan bahwa: Utang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan dapat berupautang yang telah ada atau yang telah diperjanjikan dengan jumlah tertentu atau jumlah yang pada saat permohonan eksekusi Hak Tanggungan diajukan dapat ditentukan berdasarkan perjanjian utang-piutang atauperjanjian lain yang menimbulkan hubungan utang-piutang yang bersangkutan. Berkaitan dengan ketentuan Pasal 3 ayat (1) UUHT di atas, St. RemySjahdeini mengatakan bahwa Seperti yang dikemukakan dalam penjelasan Pasal 3 ayat (1) UUHT, dapat dijadikannya Hak Tanggungan untuk menjamin utang yang baru akan ada dikemudian hari adalah untuk menampung kebutuhan dunia perbankan berkenaan dengan timbulnya utang dari nasabah bank sebagai akibat dilakukannya pencairan atas suatu garansi bank. Juga untuk menampung timbulnya utang sebagai akibat pembebanan bunga atas pinjaman pokokdan pembebanan ongkos-ongkos lain yang jumlahnya baru dapat ditentukankemudian.Sehubungan dengan terjadinya Hak Tanggungan
<> Hapusnya Hak Tanggungan!
Menurut Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4/1996 atau Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT), hapusnya Hak Tanggungan yakni karena hal-hal sebagai berikut:
a.  Hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan (konsekuensi sifat accessoir-nya)
b.  Dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan.
c. Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan   Negeri.
d. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan
Sudikno Merto Kusumo (salim hlm. 187) mengemukakan ada 6 (enam) cara berakhirnya  atau hapusnya Hak Tanggungan. Keenam cara tersebut disajikan berikut ini :
a.  Dilunasinya hutang atau dipenuhinya prestasi secara sukarela oleh debitur. Disini tidak  terjadi cidera janji atau sengketa.
b.  Debitur tidak memenuhi tepat pada waktu, yang berakibat debitur akan ditegur oleh kreditur untuk memenuhi prestasinya. Teguran ini tidak jarang disambut dengan dipenuhinya prestasi oleh debitur dengan sukarela, sehingga dengan demikian utang debitur lunas dan perjanjian utang piutang berakhir.
c.  Debitur cedera janji. Dengan adanya cedera janji tersebut, maka kreditur dapat mengadakan parate executie dengan menjual lelang barang yang dijaminkan tanpa melibatkan pengadilan. Utang dilunasi dari hasil penjualan lelang tersebut. Dengan demikian, perjanjian utang piutang berakhir.
d.  Debitur cedera janji, maka kreditur dapat mengajukan sertifikat Hak Tanggungan ke pengadilan untuk dieksekusi berdasarkan Pasal 224 HIR yang diikuti pelelangan umum.  Dengan dilunasi utang dari hasil penjualan lelang, maka perjanjian utang piutang berakhir. Disini tidak terjadi gugatan.
e.  Debitur cedera janji dan tetap tidak mau memenuhi prestasi maka debitur digugat oleh kreditur, yang kemudian diikuti oleh putusan pengadilan yang memenangkan kreditur (kalau terbukti). Putusan tersebut dapat dieksekusi secara sukarela seperti yang terjadi pada cara yang kedua dengan dipenuhinya prestasi oleh debitur tanpa pelelangan umum  dan dengan demikian perjanjian utang piutang berakhir.
f.  Debitur tidak mau melaksanakan putusan pengadilan yang mengalahkannya dan menghukum melunasi utangnya maka putusan pengadilan dieksekusi secara paksa dengan pelelangan umum yang hasilnya digunakan untuk melunasi hutang debitur, dan  mengakibatkan perjanjian utang piutang berakhir.
Menurut Pasal 22 ayat (1) UUHT, setelah Hak Tanggungan hapus, Kantor Pertanahan mencoret catatan Hak Tanggungan tersebut pada buku tanah hak atas tanah dan sertifikatnya. Permohonan pencoretan diajukan oleh pihak yang berkepentingan dengan melampirkan sertifikat Hak Tanggungan yang telah diberi catatan oleh kreditor bahwa pelunasannya dengan Hak Tanggungan itu lunas. Apabila karena suatu hal sertifikat Hak Tanggungan dapat diganti dengan pernyataan tertulis dari kreditor bahwa Hak Tanggungan telah hapus karena piutang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan itu telah lunas (Pasal 22 ayat (4) UUHT). Apabila kreditor tidak bersedia memberikan pernyataan sebagaimana dimaksud, maka pihak yang berkepentingan dapat meminta turut campurnya pengadilan dengan cara mengajukan permohonan perintah pencoretan tersebut kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat Hak Tangggungan didaftar (Pasal 22 ayat (5) UUHT).
Hapusnya Hak Tanggungan karena hapusnya hak atas tanah yang dijadikan jaminan tidak menyebabkan hapusnya piutang yang dijamin. Piutang kreditor tetap ada tetapi tidak lagi mendapat jaminan secarapreferen. Dalam hal hak atas tanah berakhir jangka waktunya dan diperpanjang berdasarkan permohonan yang diajukan sebelum berakhir jangka waktu tersebut, maka Hak Tanggungan tetap melekat kecuali ada pembaharuan hak atas tanah menjadi baru maka Hak Tanggungan semula membebani menjadi hapus sehingga harus dilakukan pembebanan Hak Tanggungan baru. Dalam hal perpanjangan maupun pembaharuan hak atas tanah dibutuhkan surat persetujuan kreditor selaku pemegang Hak Tanggungan.

Share this

0 Comment to "MAKALAH HUKUM JAMINAN HAK TANGGUNGAN"

Post a Comment